TIMES MALANG, JAKARTA – Sejarah hari ini mengenang bencana alam yang terjadi di Yogyakarta tepat 15 tahun yang lalu, atau 27 Mei 2006 silam. Gempa Jogja berkekuatan magnitudo 5,9 mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta sekitar pukul 05.55 WIB. Getaran gempa Jogja selama 57 detik mengakibatkan 6 ribu lebih orang tewas dan ribuan bangunan rusak.
27 Mei juga mencatat bencana lain, yakni munculnya lumpu panas di Sidoarjo, Jawa Timur atau yang dikenal dengan lumpur Lapindo. Peristiwa ini menenggelamkan tiga kecamatan dan membuat ribuan orang harus direlokasi.
2006: Gempa Jogja
Monumen pusat gempa di Dusun Potrobayan, Bantul. untuk mengenang gempa 27 Mei 2006 (Foto: Hendra Nurdiansyah/Antara)
Gempa Jogja yang terjadi pada Sabtu 27 Mei 2006 pagi tercatat sebagai bencana alam dengan korban jiwa terbesar kedua setelah Tsunami Aceh pada 26 Desember 2004.
Data BPBD Bantul menyebutkan, jumlah korban meninggal di wilayah Bantul ada 4143 korban tewas, dengan jumlah rumah rusak total 71.763, rusak berat 71.372, rusak ringan 66.359 rumah. Total korban meninggal gempa DIY dan Jawa Tengah bagian selatan, seperti di Klaten, tercatat mencapai 5.782 orang lebih, 26.299 lebih luka berat dan ringan, 390.077 lebih rumah roboh akibat gempa waktu itu.
BMKG menyebut, pusat gempa berada di Sungai Opak di Dusun Potrobayan, Srihardono, Pundong. Mulai dari pundong dusun potrobayan sebagai titik episentrum dan jalur gempa sampai ke Klaten.
Untuk mengenang peristiwa ini, di lokasi pusat gempa dibangun tugu peringatan gempa Yogyakarta letaknya 300 meter dari pusat gempa yang merupakan tempuran sungai Opak dan Oya.
2006: Lumpur Lapindo
27 Mei 2006 juga menjadi awal duka panjang bagi warga Kabupaten Sidoarjo, dan Jawa Timur. Di hari itulah, muncul lumpur panas dari di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo.
Semburan lumpur panas ini awalnya dinilai tidak berbahaya dan bisa diatasi. Namun, semburan lumpur tak kunjung berhenti meski dilakukan berbagai upaya. Hasilnya, kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di Sidoarjo terdampak dan 4 desa tenggelam oleh lumpur.
Ribuan orang harus direlokasi akibat kejadian ini. Kasus ini juga berdampak pada perekonomian Jawa Timur karena banyak industri yang harus pindah lokasi.
Peristiwa ini juga memunculkan masalah sosial yang luar biasa. Ribuan orang berdemo berkali kali hingga ke Jakarta menuntut ganti rugi yang tidak jelas.
Kasus ini bahkan harus ke pengadilan untuk memastikan apakah munculnya semburan lumpur akibat bencana alam (terkait gempa Jogja) atau akibat kesalahan teknis pengeboran oleh PT Lapindo Brantas. Kasus ini belum juga terselesaikan hingga bertahun-tahun. Pemerintah akhirnya memutuskan yang membayar ganti rugi kepada korban Lumpur Lapindo. (*)
Pewarta | : Ratu Bunga Ambar Pratiwi (MG-345) |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |