https://malang.times.co.id/
Berita

Polemik Royalti Musik Berpotensi Matikan Musisi dan Pengusaha Mamin: Sistem dan Transparansi Perlu Diperjelas

Rabu, 13 Agustus 2025 - 20:07
Polemik Royalti Musik Berpotensi Matikan Musisi dan Pengusaha Mamin: Sistem dan Transparansi Perlu Diperjelas Ilustrasi royalti musik. (Foto: Istimewa)

TIMES MALANG, MALANG – Polemik soal royalti musik di kafe maupun restoran nampaknya bakal berpotensi mematikan para musisi tanah air maupun pengusaha makanan dan minuman (mamin). Pasalnya, banyak yang merasa ini menjadi beban dan membuat kaget masyarakat atas tagihan-tagihan yang tiba-tiba muncul, tanpa adanya transparansi dan aturan atau sistem yang jelas.

TIMES Indonesia, mencoba meminta respons dari berbagai kalangan, mulai dari musisi, pengelola kafe, organisasi resto dan restoran hingga masyarakat.

Pengelola Kafe Anggap Polemik Royalti Musik Bisa Matikan Musisi Lokal dan Usaha Mamin

Polemik penarikan royalti musik yang belakangan ramai di Indonesia menuai respons dari pelaku usaha kafe di Malang. Marketing New Order Coffee, Khan Dafaa mempertanyakan mengapa kebijakan ini baru diterapkan sekarang, padahal aturan hak cipta sudah ada sejak lama. Menurutnya, demi menghindari risiko, banyak pelaku usaha memilih untuk tidak memutar lagu Indonesia, dan tentu ini bisa mematikan eksistensi musisi lokal itu sendiri.

“Kalau ini diributkan terus, dampaknya domino. Masyarakat bisa enggan mendengar lagu lokal, musisi Indonesia akhirnya kehilangan kepercayaan,” ujar Dafaa, Rabu (13/8/2025).

Khan mengkritik langkah Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang dianggap hanya menyasar tempat-tempat ramai atau besar. Ia menilai beban pelaku usaha semakin berat dengan adanya kewajiban membayar royalti yang sangat tergesa gesa tanpa ada transparansi ini.

“Kita sudah dipajaki, bahan baku naik, pendapatan terbatas, masih harus bayar karyawan. Kalau ditambah royalti musik, gimana? Saya sebagai pengelola kafe jelas tidak sepakat,” ungkapnya.

Bahkan, ia menilai isu ini belum mendesak untuk diperhatikan dibandingkan berbagai persoalan nasional lainnya.

“Sebenarnya saya tidak terlalu peduli, karena banyak isu nasional yang lebih besar. Ini bisa dianggap sebagai pengalihan saja,” katanya.

Khan mengaku hingga kini pihaknya belum menerima surat penarikan royalti musik. Meski demikian, ia menyebut ada dua tempat di Malang yang sudah terdampak. 

“Di kafe saya tidak ada live music, dan kami lebih sering memutar lagu luar negeri supaya merasa aman,” imbuhnya.

Ia juga menegaskan, pada prinsipnya tidak menolak hak musisi yang diatur undang-undang, asalkan mekanismenya jelas dan transparan. 

“Kalau transparan dari awal, ya setuju saja. Tapi kalau sekarang, kita tidak tahu sistemnya, uangnya ke mana, dari hulu ke hilir seperti apa,” tegasnyq.

Khan juga mengingatkan bahwa ketidakjelasan ini bisa berdampak luas pada keberlangsungan usaha mamin, termasuk UMKM.

“Kalau sistemnya tetap tidak jelas, bisa mematikan usaha kecil seperti kafe. Pemerintah dibayar rakyat, tapi kok malah bikin rakyat sengsara,” ucapnya.

Vokalis Coldiac Sambadha: Sistem dan Transparansi Harus Jelas, Baru Dijalankan

Vokalis Coldiac, Sambadha Wahyadyatmika angkat bicara terkait polemik penarikan royalti musik yang belakangan ramai diperbincangkan. Menurutnya, masalah ini memiliki dua sisi yang perlu dilihat secara seimbang, baik dari sudut pandang musisi maupun masyarakat.

“Dari sisi positif, akhirnya ada sosialisasi soal ini. Tapi sayangnya terkesan mendadak, jadi banyak orang kaget,” ujar Sambadha. 

Ia menjelaskan bahwa isu yang berkembang saat ini adalah soal performing right, yaitu hak cipta atas nada dan lirik lagu yang diputar di tempat umum.

Meski Undang-Undang Hak Cipta telah mengatur hal tersebut sejak lama, ia menilai kesalahan terbesar terletak pada minimnya sosialisasi dan belum adanya sistem penarikan royalti yang jelas dan transparan.

“Akhirnya seperti kejar setoran tanpa penjelasan. Masyarakat kan nggak semua paham utuh,” katanya.

Sambadha menegaskan, musisi justru khawatir dibenturkan dengan masyarakat karena mekanisme distribusi royalti belum transparan. 

“Dari musisi juga kaget, ini yang ditarik duitnya masuk ke saya atau nggak? Harusnya LMKN kolaborasi dengan pemerintah membuat sistem yang benar sebelum menagih,” tegasnya.

Ia mendorong LMKN dan pemerintah memanfaatkan era digital untuk menciptakan sistem monitoring yang transparan, sehingga jumlah pemutaran lagu bisa dihitung dengan akurat dan dapat diakses publik, termasuk pemilik usaha. 

“Kalau nggak gitu rawan permainan. Jangan-jangan nanti kafe lebih memilih mutar lagu luar daripada lagu Indonesia,” tuturnya.

Pengalaman Sambadha sendiri menunjukkan hubungan baik antara musisi dan pelaku usaha mamin, salah satunya seperti kerja sama Coldiac dengan 100 kedai kopi di Indonesia. Namun, ia khawatir tanpa sosialisasi dan sistem yang jelas, akan muncul stigma negatif terhadap lagu-lagu lokal.

“Musik bagian dari hidup kita. LMKN kan lembaga bantuan negara tanpa dana APBN. Jadi ayo dibicarakan dengan pemerintah, jangan diam melihat polemik ini,” ucapnya.

Meski begitu, untuk saat ini Sambadha pun tidak pernah mempermasalahkan lagunya dibawakan ataupun diputar di kafe, resto bahkan di pernikahan.

“Kalau aku gak masalah, putar saja, mainkan saja, silahkan,” tandasnya.

Restoran di Malang Hentikan Live Show Gegara Polemik Royalti

Pemberlakuan aturan pembayaran royalti musik di tempat usaha mulai berdampak nyata di sejumlah kafe dan resto Kota Malang. Sejumlah restoran, terutama di kawasan Kayutangan Heritage, memutuskan menghentikan kegiatan live music demi menghindari persoalan hukum karena belum memiliki izin dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Kebijakan ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang mewajibkan pelaku usaha seperti hotel, restoran, pusat perbelanjaan, dan tempat hiburan lainnya membayar royalti atas pemanfaatan lagu atau musik komersial.

Ketua PHRI Kota Malang, Agoes Basoeki, menyebut bahwa hampir seluruh hotel berbintang tiga ke atas di wilayahnya telah mendaftarkan diri ke LMKN. Bahkan mereka telah mematuhi aturan dengan melakukan pembayaran royalti.

“Hotel-hotel bintang tiga ke atas rata-rata sudah mendaftar dan tertib membayar royalti,” ujar Agoes.

Namun tidak demikian dengan sektor restoran. Banyak pengusaha kuliner menolak atau menunda pembayaran royalti karena mengeluhkan besaran tarif yang dianggap memberatkan. Bahkan, sejumlah restoran memilih menghentikan live music secara total.

“Beberapa restoran di Kayutangan dan kawasan wisata lainnya mulai menghentikan live musik karena belum urus izin atau merasa tarifnya terlalu tinggi,” ungkapnya.

PHRI Kota Malang dalam waktu dekat akan melakukan koordinasi lanjutan dengan DPD dan DPP PHRI. Hal itu untuk meninjau ulang skema tarif yang diterapkan LMKN.

“Kami akan sampaikan ke pusat agar ada penyesuaian tarif. Bukan menolak, tapi berharap bisa disesuaikan dengan skala usaha,” tegasnya.

Sementara itu, mengacu pada situs resmi LMKN, tarif royalti untuk restoran tergantung pada luas tempat, frekuensi pemutaran musik dan kapasitas pengunjung. Untuk restoran kecil, tarif bisa berkisar dari Rp 500 ribu hingga Rp1 juta per bulan, sedangkan restoran besar dengan live music reguler bisa membayar hingga Rp5 juta hingga Rp10 juta per bulan. 

Bagi pelaku usaha yang tidak mengantongi izin dari LMKN, sanksi hukum cukup serius bisa diberlakukan. Mulai dari denda hingga penutupan usaha jika terbukti melanggar hak cipta secara komersial.

Banyak pengusaha restoran mengaku belum mengurus sertifikat dan izin karena merasa kebijakan ini belum tersosialisasi dengan maksimal serta transparan, sehingga mereka memilih menghindari risiko dengan cara menyetop pertunjukan live music.

Terpisah, Ketua Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran Indonesia (Apkrindo) Kota Malang Indra Setiyadi mengatakan, di tengah daya beli masyarakat yang mengalami penurunan, banyak kafe atau restoran di Kota Malang mulai memilih tidak memutar lagu.

Sebab pembayaran royaltinya cukup mahal. Sehingga, banyak kafe dan restoran menghindari polemik royalti dengan tidak memutar lagu. 

“Para pengusaha juga sedang menghadapi penurunan daya beli masyarakat. Sehingga memilih untuk tidak memutar lagu,” ungkap Indra.

Menurutnya penarikan biaya royalti berdasarkan jumlah kursi dinilai tidak ideal. Sebab dari kursi yang disediakan, tentu tidak menjamin seluruh kursi terisi setiap harinya. 

Pelanggan yang duduk pun belum tentu menikmati lagu yang kebetulan diputar petugas kafe atau restoran. Karena pemutaran lagu di kafe atau restoran hanya bersifat pelengkap suasana saja.

Menurut Indra, tidak sepatutnya kafe dan restoran dipungut royalti tinggi. Berbeda dengan pub atau diskotik, jenis usaha itu baru bisa dimaklumi saat ditarik royalti tinggi. Sebab daya tarik utamanya memang ada di musik yang diputar. 

“Kalau pun atau diskotik komoditas utama mereka memang menjual musik,” tandasnya. 

Indra pun menyarankan agar penetapan tarif royalti dilihat berdasarkan kelas restoran atau kafe. Misalnya restoran bintang lima tarifnya lebih tinggi dari bintang dua. Skema itu dinilai meyakinkan dan lebih adil untuk diterapkan.

Masyarakat Makin Enggan ke Kafe Gegara Polemik Royalti Musik

Salah satu pengunjung kafe di Kota Malang, Alfrida mengaku sejak ramaianya tarif royalti banyak kafe yang tidak memutar musik. Hal ini membuatnya makin malas untuk nongkrong ke kafe, padahal ia ingin mendengarkan live music.

“Saya datang kebeberapa kafe sudah tidak memutar musik lagi. Padahal biasanya yang diputar lagu-lagu yang sedang nge-hits,” ujar Alfrida.

Tentu dengan hilangnya suara musik membuat suasana kafe menjadi sepi. Padahal dengan adanya pemutaran musik menambah rasa nyaman sambil ngopi.  

“Ya kalau dilihat, kayaknya mending saya pesan online saja, ngopi di rumah sambil dengerin musik sesuka hati saya,” tandasnya.(*)

Pewarta : Rizky Kurniawan Pratama
Editor : Imadudin Muhammad
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.