TIMES MALANG, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mengakui, bahwa pemimpin Korea Utara adalah orang yang pintar, karena itu ia akan menghubungi Kim Jong-un lagi.
Donald Trump menyampaikan pernyataannya itu saat wawancara yang disiarkan Fox News pada hari Kamis (23/1/2025).
Dengan pernyataan itu, prospek dimulainya kembali diplomasi pertemuan puncaknya dengan pemimpin yang tertutup itu terbuka kembali.
Dalam wawancara tersebut, seperti dilansir The Korea Times, Trump menggambarkan Kim adalah "orang pintar" dan "bukan seorang fanatik agama".
Deskripsi itu tampaknya menunjukkan pandangannya, bahwa pemimpin Korea Utara tersebut bisa menjadi seseorang yang bisa diajaknya berkomunikasi untuk bernegosiasi.
"Ya, saya akan melakukannya," kata Donald Trump ketika ditanya apakah ia akan menghubungi Korea Utara.
Trump kemudian mengenang saat Kim datang ke Gedung Putih untuk bertemu dengan Barack Obama pada akhir tahun 2016, dimana Obama menyebut Korea Utara sebagai "ancaman terbesar."
"(Obama) mengatakan Korea Utara adalah ancaman terbesar dan saya memecahkan masalah itu," katanya. "Dan saya cocok dengannya. Dia bukan seorang fanatik agama. Dia orang yang cerdas. Kim Jong-un orang yang cerdas," tambahnya.
Sedangkan dengan Iran, Trump menggambarkannya sebagai "sesuatu yang sama sekali berbeda" jika mengacu pada sifat religius republik Islam tersebut.
Dalam jumpa pers hari Senin, Trump menyebut Korea Utara sebagai "kekuatan nuklir," dan mengantisipasi Kim akan "senang" melihat kembalinya dia ke Gedung Putih.
Pernyataannya tampaknya mencerminkan kenyataan meningkatnya ancaman nuklir Korea Utara dan minatnya yang jelas untuk kembali terlibat dengan Pyongyang.
Selama kampanye pemilihannya, Donald Trump berulang kali membanggakan hubungan pribadinya dengan Kim, sehingga menimbulkan spekulasi bahwa ia akan berusaha memulai kembali diplomasi langsungnya dengan Kim Jong-un.
Ketertarikan Trump untuk dialog dengan Korea Utara dibuktikan dengan cara ia memilih personelnya.
Awal bulan ini, Trump memilih William Harrison, seorang ajudan yang terlibat dalam perencanaan pertemuan puncak dengan pemimpin Korea Utara itu pada masa jabatan pertamanya dulu, sebagai asisten presiden dan wakil kepala staf untuk operasi.
Bulan lalu, ia menunjuk mantan Duta Besar untuk Jerman, Richard Grenell sebagai utusan presiden untuk misi khusus yang menurutnya meliputi "beberapa tempat terpanas" di seluruh dunia, termasuk Korea Utara.
Trump juga menunjuk Alex Wong, yang terlibat dalam perundingan nuklir tingkat kerja dengan Korea Utara, sebagai wakil penasihat keamanan nasional utamanya.
Kini Korea Selatan khawatir akan dikesampingkan oleh pemerintahan Donald Trump saat berkomunikasi dengan Korea Utara, karena ketidakpastian politik di Korea Selatan gegara kegagalan darurat militer yang diterapkan Presiden Yoon Suk Yeol yang kini dimakzulkan.
Trump mengadakan tiga pertemuan dengan Kim, pertemuan puncak pertama di Singapura pada Juni 2018, pertemuan puncak Hanoi pada Februari 2019, dan pertemuan di desa perbatasan antar Korea di Panmunjom pada Juni 2019.
Amerika Serikat dan Korea Utara terakhir kali mengadakan pembicaraan nuklir tingkat kerja di Stockholm pada Oktober 2019.
Beberapa pengamat mengatakan, bahwa keinginan Pyongyang untuk kembali menjalin hubungan dengan Washington mungkin telah berkurang karena sekarang ia bergantung pada Rusia untuk makanan, bahan bakar, jaminan keamanan dan bentuk dukungan lainnya setelah Rusia menyediakan amunisi dan pasukan untuk mendukung perang Moskow di Ukraina.
Selama empat tahun masa jabatannya, pemerintahan Joe Biden lebih banyak fokus pada peningkatan pencegahan dengan Korea Selatan dan Jepang untuk melawan ancaman Korea Utara, karena tawarannya yang berulang untuk terlibat dalam dialog dengan Korea Utara "tanpa prasyarat" tidak digubris.
Kini, pemerintahan AS berniat membangun kembali komunikasinya dengan pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, dan Donald Trump menyebutnya "orang pintar". (*)
Pewarta | : Widodo Irianto |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |