TIMES MALANG, BATU – Di tengah derasnya pembangunan wisata di Kota Batu, sumber mata air Umbul Gemulo di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji tetap terjaga berkat tangan-tangan warga. Dengan debit 4,81 liter per detik, sumber air yang menjadi penopang hidup ribuan warga Batu dan Malang ini masih dikelola secara swadaya.
Berada 50 meter dari Hotel Purnama dan lima menit dari Alun-Alun Batu. Selain sebagai sumber air, Umbul Gemulo juga berfungsi sebagai destinasi wisata terbuka berbasis komunitas.
Potensi Wisata dan Peran Warga dalam Pengelolaan
Umbul Gemulo dikelola dengan pendekatan community-based tourism (CBT) oleh kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas). Warga secara mandiri menjaga kebersihan area, memasang papan edukasi, dan memberi pemahaman kepada pengunjung untuk tidak mencemari sumber air.
Firman Ardian Yuliansyah, mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang, berdiri di depan warung milik warga yang berada di sekitar kawasan Umbul Gemulo. (FOTO: Ardana Pramayoga/TIMES Indonesia)
“Model seperti ini penting untuk dijaga. Wisata bisa berjalan tanpa merusak lingkungan, karena dikelola langsung oleh masyarakat yang tahu kondisi wilayahnya,” ujar Firman Ardian Yuliansyah, mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang, dalam wawancara, Minggu (10/7/2025).
Firman menambahkan bahwa partisipasi warga adalah bentuk sinergi dalam pelestarian lingkungan. Menurutnya, keterlibatan pemuda juga penting dalam menjaga keberlangsungan Umbul Gemulo dari ancaman komersialisasi.
“Kami punya tanggung jawab moril. Minimal ikut menyuarakan, menulis, atau terlibat dalam kegiatan edukasi dan advokasi,” jelas Firman.
Ancaman dari Proyek Pembangunan
Umbul Gemulo terancam oleh sejumlah proyek pembangunan di sekitarnya. Diskusi terbuka yang digelar oleh Komunitas Indonesia Hijau (KIH) bersama WALHI Jawa Timur dan Nawakalam Gemulo mencatat adanya rencana pembangunan hotel, rest area, dan taman wisata dalam radius kurang dari 200 meter dari sumber air.
Menurut Aris Faudin, Direktur Nawakalam Gemulo, pembangunan tersebut dapat mengganggu kualitas dan keberlangsungan Umbul Gemulo. Ancaman ini diperparah dengan adanya Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2022 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Batu. Dalam aturan tersebut, beberapa kawasan mata air termasuk Umbul Gemulo tidak lagi masuk dalam zona lindung.
Padahal, Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 mengamanatkan bahwa kawasan sekitar mata air wajib dilindungi. Namun, hingga kini, Pemerintah Kota Batu belum memberikan kepastian hukum terkait perlindungan Umbul Gemulo sebagai kawasan konservasi sumber air.
Menjaga Sinergi demi Keberlanjutan Sumber Air
Tanpa dukungan kebijakan yang berpihak pada pelestarian, pengelolaan swadaya oleh warga bisa kewalahan menghadapi tekanan dari pembangunan masif. Meski Umbul Gemulo telah memberi manfaat ekologis, sosial, dan ekonomi bagi warga, keberadaannya tetap rentan jika tidak diperkuat dengan perlindungan hukum.
Punden yang terletak tak jauh dari sumber mata air Umbul Gemulo, menjadi bagian dari situs budaya masyarakat setempat dan masih digunakan dalam ritual adat hingga kini. (FOTO: Ardana Pramayoga/TIMES Indonesia)
Firman berharap pemerintah daerah dapat memberikan peran lebih besar bagi masyarakat lokal dalam pengelolaan wisata berbasis lingkungan. “Berikan ruang bagi masyarakat untuk memimpin pengelolaan. Fasilitasi mereka, bukan malah memberi ruang bagi investor,” ujarnya.
Pengelolaan Umbul Gemulo yang masih berbasis komunitas menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat adalah kunci pelestarian lingkungan. Namun, tanpa dukungan kebijakan dan perlindungan hukum, potensi tersebut bisa tergerus oleh tekanan komersial. (*)
PEWARTA: Ardana Pramayoga
Pewarta | : TIMES Magang 2025 |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |