TIMES MALANG, BATU – Petani apel jatuh bangun, cerita ini kerap terdengar di telinga kita. Permasalahan anggaran operasional yang tidak mencukupi, pestisida mahal, penurunan jumlah produksi, harga panen anjlok hingga sulitnya mencari buruh tani menjadi kisah yang akrab kita dengar. Lantas bagaimana kisah petani muda dibalik apel celup?
Apel celup, sebuah minuman khas Kota Wisata Batu yang saat ini sedang viral dicari konsumen. Cara menikmatinya yang mudah, rasanya yang segar dan tidak meninggalkan rasa khas buah apel, menjadikan pecinta kuliner kesengsem.
Harganya pun terjangkau, hingga siapa saja yang merasakannya, pasti ingin kembali merasakan Apel Celup yang memiliki empat varian.
Apel ini dicacah kemudian dikeringkan dan dikemas dalam kantong teh. Tiga varian yang ada Apel Celup Original, Apel Celup Lemon, Apel Sinamon, dan Apel Celup Pepermint.
Siapa sangka dibalik kesegaran Apel Celup dan inovasi produk berbahan apel ini ada kisah yang luar biasa. Adalah Alfredo Dhilan petani muda berusia 30 tahun, warga Jl Diponegoro Nomor 5, Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu ini yang menciptakan Apel Celup ini.
"Awalnya dari kecelakaan, kebunnya kakek saya tidak ada yang mengurus, sementara apel sudah tidak seperti dulu lagi, kalau dulu 1 hektar bisa panen hingga 20 ton, sekarang hanya 2 ton, sangat tidak nutut untuk biaya operasional," ujar laki-laki yang akrab dipanggil Edo ini.
Alumnus Teknik Pengairan, Universitas Brawijaya ini pun nekat merantau keluar negeri untuk belajar tentang pengolahan apel. Dipilihlah Swiss atau Switzerland sebagai tempat mempelajari pengolahan apel.
Ia pun berpamitan kepada orang tua, tentu saja rencananya ini ditentang orang tuanya. Namun karena kebulatan tekadnya, ia pun berangkat ke Swiss tahun 2018.
"Saya hanya membawa uang Rp.5 juta, saya nekat pergi keluar negeri karena penasaran. Saya ingin belajar sistem pertaniannya, bagaimana pengolahannya, belajar inspirasilah, karena tidak semua orang pernah lulus sekolah kehidupan," ujar anak sulung pasangan suami istri, Adi Sucipto - Nawang Wulan ini.
Ia berangkat dengan menggunakan jalur darat menggunakan bis dari Malang menuju ke Bali. "Saya sama sekali tidak punya gambaran mau hidup seperti apa di Swiss, kenalan tidak punya, keluarga juga tidak ada, uang yang saya bawa juga sangat minim," ujar Edo.
Ia hanya mendapatkan sedikit cerita pengalaman dari teman seperjalanan dalam perjalanan naik bus menuju Bali.
Beruntung sesampai di Swiss, Edo bertemu dengan orang Surabaya yang bekerja sebagai executive chef di sebuah restauran di Swiss.
"Kita tidak saling mengenal sebelumnya, saya malah dipisuhi (dimaki-maki) kenapa datang ke Swiss tidak membawa uang dan tidak ada pekerjaan, karena kalau dinegara ini tidak punya uang bisa mati, katanya," ujar Edo.
Ia bersyukur bisa bertemu kenalannya ini, karena dari situ ia mendapatkan pekerjaan. "Awalnya mencuci piring, hari pertama sudah memecahkan piring juga. Hingga meningkat sampai membantu memasak," ujar Edo.
Dari pekerjaan ini Edo bisa bertahan hidup di Swiss, ketika libur ia berjalan-jalan ke kawasan pertanian apel dan tempat pengolahan apel. Disini apel diolah menjadi beragam produk baru, termasuk dipergunakan membuat minuman apel khas Swiss.
Dibandingkan Swiss, petani apel di Indonesia sebenarnya lebih beruntung, karena di Swiss apel hanya panen sekali setahun sementara di Indonesia apel bisa dua kali panen. "Hal ini semakin memotivasi saya," ujarnya.
Setahun di Swiss, tahun 2019 ia memutuskan pulang ke tanah air dengan seambreg ide dan semangat mengembangkan apel. Salah satunya adalah Apel Celup.
"Apel Celup ada 4 varian, varian pertama Apel Original kita membuatnya dengan apel manalagi dan rome beauty dihancurkan dan dikeringkan tanpa bahan pengawet tanpa pewarna," ujarnya.
Beberapa kali ia gagal membuat Apel Celup ini, karena belum cukup referensi terkait suhu dan peralatan
Varian lain adalah Apel sinamon, Apel Papermint dan Apel Lemon. Ia bersyukur idenya ini terwujud dan langsung diikutkan kompetisi Diplomat succes chalengge tahun 2019.
"Dari kompetisi ini saya mendapatkan hibah modal usaha, Rp 197 juta dan produk saya ini mendapatkan BRI UMKM Favoriy tahun 2021," ujarnya.
Menggunakan bendera usaha bernama Dhilan Mesindo, ia mengincar pasar oleh-oleh.
"Tujuan awal saya membuat produk ini ingin mengangkat nama Kota Batu sekaligus memberikan solusi untuk petani apel. Kita ingin menginspirasi Indonesia," ujar mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Teknik Pengairan UB ini.
Satu kemasan Apel Celup ini dijualnya seharga Rp 25 ribu dengan isi 20 kantong. Respon konsumen bagus menerima produk ini, karena apel yang digunakan merupakan apel sesungguhnya dan berkualitas bagus. Dalam sebulan kurang lebih 1 hingga 2 ton diproduksi olehnya. (*)
Pewarta | : Muhammad Dhani Rahman |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |