https://malang.times.co.id/
Opini

#Kanal Forum Mahasiswa#Politik Para Pendidik

Kamis, 13 Februari 2025 - 07:35
#Kanal Forum Mahasiswa#Politik Para Pendidik Muhammad Zidan Ramdani, Mahasiswa Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

TIMES MALANG, JAKARTA – Di era pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabumingraka telah terjadi berbagai keputusan yang cukup berdampak besar di setiap sektor kehidupan. Salah satunya ialah pemangkasan anggaran di kementerian maupun program yang berkedok sebagai efisiensi anggaran. 

Efisiensi anggaran pun dilakukan sampai menerkam sektor pendidikan Indonesia, itu terbukti dari dipangkasnya anggaran Kemendikdasmen (Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah) sebanyak kurang lebih 8 Triliun Rupiah juga anggaran Kemendiktisaintek (Kementerian Perguruan Tinggi, Sains, dan Teknologi) sebanyak kurang lebih 22,5 Triliun Rupiah.

Efisiensi anggaran dilakukan guna mendukung program yang selalu dibanggakan oleh Presiden Prabowo yakni Makan Bergizi Gratis (MBG). Tentu kebijakan ini membuat publik bertanya-tanya tentang bagaimana pemerintah tidak memerhatikan pentingnya pendidikan bagi sebuah bangsa. 

Di era pemerintahan Prabowo-Gibran memang telah ramai di media sosial sebuah tampilan layar yang menunjukkan bahwa sektor pendidikan dan kesehatan hanya menjadi prioritas pendukung, yang seharusnya itu menjadi prioritas utama.

Di tingkat perguruan tinggi misalnya, ramai bahwa tunjangan kinerja (Tukin) untuk dosen dari tahun 2020-2024 tidak dibayar oleh pemerintah. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah di era Kabinet Merah Putih ini menuai kecaman dari publik. Tak kurang dari itu beberapa guru besar di beberapa universitas pun turut mengkritik kebijakan yang dianggap menganaktirikan pendidikan. 

Padahal, kita tahu bahwa berkembangnya sebuah negara itu diawali dari pendidikan yang bermutu. Kaisar Hirohito saat terjadi bom di Hiroshima dan Nagasaki pun tak bertanya apa-apa selain, “Berapakah jumlah guru yang masih tersisa?”.

Kebijakan-kebijakan politik yang menjadikan guru atau pendidik sebagai mangsa empuk tak hanya terjadi di masa sekarang. Di setiap kampanye, guru atau pendidik pasti diseret namanya seolah mewakili kepentingan golongan pengajar. Tapi pada kenyataannya, silih berganti presiden tidak pernah terwujudkan kesejahteraan bagi pendidik untuk memajukan pendidikan di Indonesia.

Saya memandang hal ini terjadi karena hilangnya peran dan suara aspirasi dari pendidik untuk bisa sampai kepada pemangku kebijakan. Bagaimana tidak? Guru, dosen maupun pengajar dan sebagainya dipaksa bungkam oleh pemerintah yang bertindak represif. 

Saya tidak melihat bentuk represifitas ini berupa sebuah kekerasan atau semacamnya. Tapi lihatlah bagaimana guru yang memiliki pikiran kritis itu dengan mudah dicopot jabatannya dan lisensinya sebagai pengajar. 

Tentu hal demikian pun menjadi contoh para pendidik dalam mendidik anak bangsa, tak sekali kita melihat bahwa pendidikan kita masih menjunjung budaya feudal dimana siswa tidak berhak mengkritik guru.

Fenomena ini sangat bertolakbelakang dengan apa yang telah dilakukan oleh bapak pendidikan Indonesia yakni Ki Hajar Dewantara yang memiliki nama asli Suwradi Suryaningrat. 

Ki Hajar Dewantara tak memulai dirinya sebagai pengajar, namun ia menjalani awal karirnya sebagai seorang wartawan yang sangat kritis dalam menilai kebijakan dari pemerintah kolonial Belanda. 

Karirnya sebagai seorang wartawan membawa dirinya bertemu dengan Douwes Dekker yang mengajak dirinya bergabung ke sebuah organisasi politik bernama Indische Partij, bersama Cipto Mangunkusumo yang akhirnya mereka dijuluki sebagai tiga serangkai.

Di Indische Partij, suara lantang Ki Hajar Dewantara untuk bisa memerjuangkan pendidikan di Indonesia membuat pemerintah kolonial terancam sehingga terpaksa diasingkan ke Belanda. 

Saat kembali ke Indonesia dan pada tahun 1922 ia mendirikan Taman Siswa sebagai cikal bakal pendidikan di bangsa Indonesia. Perjalanan hidupnya ia dedikasikan untuk memperjuangkan hak-hak pribumi dalam mengenyam pendidikan yang layak. 

Dari Ki Hajar Dewantara, kita bisa belajar bahwa pentingnya para guru, dosen maupun pengajar di seluruh Indonesia memiliki sikap yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dianggap merugikan pendidikan di Indonesia. 

Pendidik pada dasarnya perlu berpolitk, saya tidak meminta para guru mendirikan sebuah partai atau semacamnya. Namun bagaimana jika pendidik bisa berpolitik dengan norma-norma pendidikan yang ada. 

Pendidik harus peka terhadap kebijakan yang bisa menyengsarakan nasibnya, mereka harus terbuka dengan politik bukan justru menutup diri dari politik. Sebab politik tidak membeda-bedakan.

Ia bisa hadir di sekitar kita, kita memilih untuk menjadi mangsa empuk yang selalu disantap oleh kebijakan politik atau justru menjadi penentu dari kebijakan tersebut, itu kembali pada diri kita masing-masing.

***

*) Oleh : Muhammad Zidan Ramdani, Mahasiswa Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.