https://malang.times.co.id/
Opini

Mengembalikan Otentisitas Manusia Indonesia dari Sekolah

Senin, 03 Maret 2025 - 13:21
Mengembalikan Otentisitas Manusia Indonesia dari Sekolah Galan Rezki Waskita, Pegiat Media NTB dan Alumni HMI Malang.

TIMES MALANG, NUSA TENGGARA BARAT – Sebelum menjadi sebuah negara, berabad lamanya tanah ini diasuh dalam kepatuhan terhadap budaya dan agama. Sebagian mungkin melihat ini tampak sebagai feodalisme terhadap monarki yang berdiri pada setiap daerah. Namun di sisi yang berbeda, kepatuhan ini adalah keselarasan dan kesatuan visi misi dalam berkebangsaan.

Visi dan misi inilah yang kemudian direduksi para pendiri bangsa dalam model negara republik hari ini. Karakteristik tersebut tidaklah berhenti pada bahasa ‘kepatuhan’ melainkan kesatuan rasionalitas masyarakat budaya dan umat beragama.

Kepatuhan timbul sebagai adab dan toto kromo, sedangkan rasionalitas menjelma sebagai etos. Gambaran demikian memberikan kesimpulan bahwa manusia Indonesia adalah entitas ‘berkarakter’.

Belakangan kita menyadari bahwa penduduk negeri ini mulai kehilangan karakter. Karena itulah narasi maupun konsep pendidikan karakter digaungkan sejak windu lalu.

Hari ini, Pemerintah mengamini agar semua isi sekolah betul-betul paham narasi, konsep dan tarikan nafas pendidikan. Semua itu untuk menjamin kembalinya otentisitas manusia Indonesia.

Keharusan atas pemahaman yang utuh ini sekiranya diimplementasikan dalam 4 konsep. Pertama adalah mengembangkan sistem pembelajaran adaptif. Materi pembelajaran disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan siswa.

Kedua, menganalisis data pembelajaran untuk mengidentifikasi pola dan tren pembelajaran. Ini sekaligus membantu meningkatkan kualitas pembelajaran.

Ketiga, mengembangkan sistem rekomendasi. Cara ini membantu siswa memilih materi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan mereka.

Keempat, mengembangkan sistem penilaian otomatis yang dapat membantu guru menilai kinerja siswa dengan lebih akurat dan efisien. Pengembangan ini semua menjadi gambaran besar deep learning yang kini digaungkan.

Sebuah penelitian yang diinisiasi oleh Y. Bengio, A. Courville, dan P. Vincent (2013) menjelaskan hal serupa. Pemikir Eropa ini menerangkan ide deep learning mengacu pada fleksibilitas, adaptif, dan keharusan memahami realitas kompleks secara utuh.

Dengan kata lain, sistem pembelajaran ini adalah pandangan umum dunia tentang cara belajar yang efektif. Dalam konteks Indonesia, model tersebut dapat diartikan sebagai proses rekognisi diri.

Upaya Pemerintah ini secara sederhana dapat dimengerti dalam keharusan ‘memahami dan bukan menghafal’. Aspek substansial tersebut juga sempat diangkat dalam sebuah film India berjudul 3 Idiot. 

Film ini menjelaskan bahwa pendidikan bukanlah tekanan dan pembelajaran tidak boleh dijadikan ajang menghafal. Sebab, cara semacam itulah yang mematikan inovasi dan kreatifitas.

Tidak bisa dipungkiri, banyak hal perlu direstorasi dari dunia pendidikan kita sekarang. Karena itu, mekanisme deep learning menghendaki pemantauan secara ketat terhadap peserta didik. 

Integrasi teknologi di dalamnya memungkinkan analisis sentimen dalam jawaban siswa atau interaksi mereka dengan platform pembelajaran. Sistem ini dapat memantau perasaan atau tingkat kesulitan yang dialami siswa berdasarkan kata-kata yang mereka pilih dalam menulis atau berbicara.

Deep learning juga dapat digunakan untuk mendeteksi kecurangan dalam ujian atau tugas. Algoritma dapat menganalisis pola jawaban siswa dan mendeteksi kemungkinan adanya plagiarisme atau kecurangan lainnya. Dengan cara ini, sistem dapat membantu menjaga integritas akademik dan memastikan bahwa evaluasi dilakukan dengan adil.

Begitu sulitnya memahami, menghadapi, apalagi membentuk manusia. Sehingga tidak heran bilamana model ini akan membutuhkan waktu untuk tampak maksimal.

Hal ini karena kita tidak hanya berbicara intelektualitas melainkan juga sisi emosional peserta didik. Karenanya, sekolah dewasa ini tidak hanya lading kognitif melainkan juga rumah bagi jiwa.

Dari uraian di atas, maka tidak salah jika dikatakan bahwa sekolah lebih bisa menganalisis manusia secara utuh dengan metode dan teknologi. Sehingga, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa sekolah menjadi locus otentisitas yang kita inginkan Bersama. Tinggal yang menjadi persoalan adalah; bagaimana fasilitas berupa SDM maupun teknologi diratakan pada semua institusi pendidikan.

Pernyataan ini tidak kemudian menghilangkan fungsi lingkungan dalam membentuk karakter anak bangsa. Kita tahu dalam 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat pembagian peran antara sekolah dan rumah sangat diperhatikan. Hanya saja, sekolah melakukan pendekatan secara akademis dan terukur. Sedangkan rumah hadir dalam Pendidikan kultural.

Bukanlah masalah jika pembaca sekalian berpandangan berbeda tentang otentisitas original karakter manusia Indonesia. Namun yang pasti, dari sistem di atas kita hanya akan berlabuh pada dua kemungkinan positif. Pertama rekognisi diri, dan kedua adalah melahirkan manusia dengan karakter positif yang baru.

***

*) Oleh : Galan Rezki Waskita, Pegiat Media NTB dan Alumni HMI Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.