TIMES MALANG, TANGERANG – Kasus korupsi Pertamina, ASDP, dan PT Timah yang merugikan negara hingga ratusan triliun mengingatkan kita akan urgensi kesederhanaan di tengah budaya pamer. Nabi Muhammad SAW, sebagai pemimpin dengan pengaruh luas, memilih hidup sederhana.
Pakaian beliau sering ditambal dan jauh dari kemewahan. Aisyah RA bahkan manifestasi pakaian lusuh Rasulullah sebagai bukti kesederhanaan hingga akhir hayatnya. Sementara banyak pejabat hari ini sibuk pamer kemewahan di tengah penderitaan rakyat.
Berbeda dengan pejabat yang pamer mobil mewah, Nabi Muhammad SAW justru memilih makanan sederhana seperti roti gandum, kurma, dan air. Menurut Aisyah RA, beliau tak pernah mencicipi roti dari tepung putih halus.
Rumah beliau pun sangat sederhana, hanya terbuat dari batu bata dan tanah liat beratap pelepah kurma. Nabi mengajarkan bahwa kekayaan sejati adalah kekayaan hati, sebuah pelajaran berharga di tengah carut-marut korupsi yang merusak negeri ini.
Teladan dan Kesederhanaan Bung Hatta
Di tengah skandal korupsi yang memprihatinkan, Bung Hatta menjadi teladan integritas sejati. Sebagai Wakil Presiden pertama Indonesia, kesederhanaan hidupnya bukan tanda kemiskinan.
Bung Hatta menampilkan bahwa jabatan adalah amanah, bukan alat memperkaya diri. Ketika memilih mundur dari jabatan pada 1956, langkah tersebut merupakan pernyataan moral. Ia menolak berkompromi dengan prinsip-prinsipnya di tengah korupsi yang merajalela.
Dalam pidatonya di Universitas Indonesia pada 1957, Bung Hatta menegaskan pentingnya pendidikan karakter. Baginya, "Korupsi harus dibasmi dengan tiada pandang bulu."
Prinsip ini bukan retorika, tapi nyata dalam tindakan. Kesederhanaannya menjadi standar moral bagi pemimpin bangsa. Sayangnya, teladan ini semakin langka di tengah pejabat yang lebih sibuk memamerkan kekayaan daripada melayani rakyat.
Gaya Hidup Mewah Pejabat
Skandal korupsi Pertamina dengan kerugian Rp193,7 triliun pada 2023 dan potensi mencapai Rp968,5 triliun selama 2018–2023 mengejutkan publik. Kasus ini hanya puncak gunung es dari masalah tata kelola BUMN.
Sebelumnya, kasus korupsi di PT Timah Tbk periode 2015–2022 merugikan negara hingga Rp300 triliun, melibatkan 22 tersangka. Gaya hidup mewah pejabat sering dikaitkan sebagai pemicu korupsi.
Gaya hidup hedonis berkontribusi pada niat korupsi. Hasrat akan kemewahan memicu ketidakpuasan tanpa batas, membuat oknum rela menghalalkan segala cara, termasuk korupsi. Kasus istri Kepala BP Bintan yang “flexing” fasilitas mewah di media sosial menjadi contohnya.
Dampak Pamer Kemewahan
Media sosial kini jadi panggung pejabat memamerkan kemewahan, walau justru menjadi bumerang. Kasus Rafael Alun Trisambodo, Andhi Pramono, dan Eko Darmanto mengindikasi bagaimana "flexing" bisa berujung penyelidikan KPK. Gaji resmi pejabat yang jauh dari gaya hidup gemerlap menimbulkan tanya dari mana datangnya kemewahan yang dipamerkan.
Kasus Andhi Pramono, mantan Kepala Bea Cukai Makassar, yang punya rumah mewah bernilai puluhan miliar menjadi contoh kesenjangan ini.
Demikian pula kasus Eko Darmanto dan pejabat lainnya yang memamerkan mobil sport hingga properti mewah. Perubahan gaya hidup drastis setelah menjabat sering kali menjadi red flag adanya praktik korupsi.
Integritas dan Pengawasan Harta Pejabat
Integritas adalah fondasi kepemimpinan. Sayangnya, pergeseran nilai saat ini membuat integritas terabaikan.
Padahal, pemimpin yang transparan dan jujur mampu menginspirasi serta membawa dampak positif. Kesederhanaan, seperti yang dicontohkan Bung Hatta, bukan soal gaya hidup, tapi sikap mental yang melekat.
Ironisnya, sembilan nilai integritas yang dirilis KPK-termasuk jujur, sederhana, dan adil-masih jauh dari realita di lapangan. Pengawasan harta pejabat melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pun belum optimal.
Integrasi LHKPN dengan sistem keuangan negara seharusnya bisa mempercepat deteksi korupsi. Namun, tanpa optimalisasi, LHKPN rawan jadi sekadar laporan administratif.
Penguatan pengawasan harta kekayaan, optimalisasi LHKPN, dan teladan hidup sederhana idealnya jadi Langkah riil, bukan basa-basi. Tanpa komitmen, upaya ini hanya menjadi kosmetik politik belaka.
Jika transparansi dan integritas benar-benar dijalankan, barulah kepercayaan publik pada pemerintah punya alasan untuk pulih.
***
*) Oleh : Heru Wahyudi, Dosen di Prodi Administrasi Negara Universitas Pamulang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |