https://malang.times.co.id/
Opini

Quo Vadis Pendidikan Agama dan Keagamaan

Sabtu, 01 Maret 2025 - 14:06
Quo Vadis Pendidikan Agama dan Keagamaan Dr. Yusuf Amrozi, M.MT., Warga NU dan Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.

TIMES MALANG, SURABAYA – Pada Rapat Kerja Nasional Kementerian Agama akhir Januari 2025 yang lalu, Menteri Agama Anre Gurutta Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA mencanangkan tiga fokus Kementerian Agama dalam menunjang pengembangan pendidikan agama dan keagamaan di Indonesia. Ketigal hal itu adalah Isu Lingkungan, Penguatan Toleransi, dan Pengokohan Nasionalisme.

Isu Toleransi telah lama digaungkan oleh pimpinan Kemenag baik oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin bahkan sebelumnya. Demikian juga dalam hal Nasionalisme.

Dalam setiap kegiatan kenegaraan atau kegiatan publik pun, tema kebangsaan selalu ditegaskan oleh pejabat publik atau pimpinan organisasi pemerintahan. Baik dalam urusan pendidikan maupun non pendidikan.

Pertanyaannya adalah dalam segi apa yang ingin “dibumikan” oleh Menteri Agama saat ini? Atau dalam hal apa atau strategi yang bagaimana untuk lebih mengoptimalkan ketercapaian ketiga isu tersebut pada pendidikan agama dan keagamaan.

Pendidikan agama boleh dibilang proses pembelajaran yang berfokus pada ajaran dari nilai-nilai tertentu yang berasal dari kitab suci, mempelajari ritus ibadah dan hukum-hukum,  sejarah agama, dan etika religious (akhlaq), maupun materi seputar agama yang bertujuan meningkatkan pemahaman seseorang dalam penghayatan agama.

Sementara pendidikan Keagamaan mengkaji secara lebih luas. Mengkaji agama dengan aspek sosial di sekitarnya. Oleh sebab itu jika pendidikan agama dan keagamaan berkelindan dengan sendirinya, serta mengabaikan isu aktual di sekelilingnya maka niscaya pendidikan agama akan tercerabut dari akar sosial dan teralenasi dengan sekitarnya.

Namun demikian, bagaimana melakukan insersi ketiga tema tersebut? Pertama dalam hal menginsersi konsep ekoteologi dalam pendidikan agama dan keagamaan. Konsep ekoteologi merupakan cabang teologi yang mempelajari hubungan spiritualitas agama dengan lingkungan hidup.

Konsep ini merujuk pada tugas manusia sebagai khalifatullah fil ardh yang bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara alam sebagaimana tertulis dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah (2:30):

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.' Mereka berkata: 'Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?' Tuhan berfirman: 'Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Kemudian bagaimana implementasinya dalam pembelajaran? Kita dapat mengajarkan konsep tersebut dimana peserta didik mendapat materi pembelajaran agama, misalnya al Quran-Hadist, Aqidah Akhlaq, Fiqh dan seterusnya dengan menempatkan tema lingkungan sebagai objek kajian. Kita dapat belajar kepada Rais Am PBNU Almagfurlah KH. Ali Yafie melalui bukunya Fiqh Lingkungan.  

Kedua tentang Penguatan Toleransi. Diskusi tentang Toleransi sudah dipandang final. Artinya sebagai bangsa yang majemuk, bahwa toleransi atau menghargai perbedaan pendapat atau nilai, dan seterusnya adalah harga mati. Tetapi dalam hal ini Pak Menag mengusulkan pendekatan baru dengan menggunakan terminologi “Kurikulum Cinta” sebagai pendekatan yang inovatif.

Memang sejumlah instansi pendidikan di berbagai tempat di dunia, menggunakan istilah yang berbeda beda. Ada yang menggunakan konsep Inklusi, pendidikan demokratis, atau pendidikan kesetaraan. Konsep Inclucive Pedagogy misalnya, telah lama diterapkan di University of Chicago. Memang orientasi pendidikan diarahkan menuju kreativitas individu dan inovasi.

Sejak usia dini, mereka didorong untuk berpikir kritis, mengekspresikan pendapat mereka, dan terlibat dalam kegiatan pemecahan masalah. Namun demikian problem individualis berpotensi terjadi disini, sehingga pendekatan “Cinta” tersebut mungkin ingin dibangun dalam kerangka untuk menciptakan kolektivitas sekaligus toleransi.

Ketiga dalam aras Nasionalisme. Gagasan ini akan dituangkan melalui Pendidikan Sejarah, penguatan budaya lokal serta penghayatan nilai-nilai Pancasila sebagai upaya menanamkan cinta tanah air.

Bagi Anda yang telah berusia “kepala 4”, tentu masih ingat pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa) di bangku Sekolah Dasar tersebut.

Memang dengan perubahan zaman, sejumlah kurikulum telah mengalami beberapa pergantian yang berdampak pada penamaan dan kemasan mata pelajaran yang berbeda beda. Ini tidak sekedar glorifikasi, tetapi secara substantif ingin mengokohkan peserta didik bahwa mereka memiliki bangsa yang besar Indonesia dengan pengalaman masa lalu beserta nilai-nilainya.

Oleh sebab itu ketiga gagasan ini mempunyai urgensi untuk di implementasikan ditengah paradoks budaya kekinian yang serba instan. Instan yang saya maksud adalah ketergantungan peserta didik serta ekosistem pendidikan yang sangat tergantung dengan teknologi.

Bahkan, dalam titik yang ekstrim, kalau sekedar pengetahuan dan informasi, tidak sekolahpun dengan penggunaan teknologi dapat diberdayakan untuk menjangkau pengetahuan dan informasi tersebut. Dengan teknologi, pengetahuan bisa didapat. Tetapi sikap dan tata nilai yang adaptif sesuai peradaban manusia yang belum tentu mampu dihadirkan oleh teknologi.

Selanjutnya dalam konteks implementatif, bagaimana strategi implementasi konsep Ekoteologi, Kurikulum Cinta serta Nasionalisme? Saya melihat setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan: Rekonstruksi kurikulum, Pemberdayaan atau penguatan Sumberdaya, serta Adopsi dan Internalisasi ketiga konsep besar tersebut pada ekosistem pendidikan.

Pertama, dalam hal Kurikulum. Apakah hal ini akan berkonsekuensi dengan melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi kurikulum pendidikan agama dan keagamaan? Saya kira sedikit banyak tentu ada perubahan atau penyesuaian kurikulum dengan memasukkan ketiga tema besar tersebut pada sejumlah matakuliah atau mata pelajaran.

Kedua, urusan sumberdaya. Ditengah praktik efisiensi anggaran saat ini menjadi tantangan sendiri untuk implementasinya. Biasanya setelah redesain kurikulum, dilakukan updating SDM guru atau pendidik melalui pelatihan dan seterusnya.

Dan biasanya pula berdampak juga dengan adanya dukungan fasilitas sumber belajar dan lainnya. Namun demikian, update konten dan metode pendidikan adalah keniscayaan di era zaman yang berubah cepat saat ini.

Ketiga, urusan internalisasi pada ekosistem pendidikan yang lebih luas. Urusan optimalisasi hasil pendidikan tidak cukup pada transformasi pembelajaran di dalam tembok sekolah, madrasah atau perguruan tinggi. Yang juga memiliki peran dalam optimalisasi luaran pendidikan tentu juga sistem sosial di luar tembok dan ruang pembelajaran.

Oleh sebab itu keluarga dan publik/masyarakat luas juga harus peduli dengan mendukung ide dan konsep ini dengan melakukan adopsi dan internalisasi di lingkungan masing-masing. Sebagai sebuah inovasi, semoga gagasan Pak Menteri Nasaruddin Umar ini menemukan momentum dan mampu terlaksana dengan baik.

***

*) Oleh : Dr. Yusuf Amrozi, M.MT., Warga NU dan Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.