TIMES MALANG, SIDOARJO – Kebijakan efisiensi anggaran yang diampu Presiden Prabowo Subianto melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 melahirkan beragam reaksi dari masyarakat. Sebab tidak tanggung-tanggung nilai yang diefisiensi, yakni sekitar Rp306,69 triliun yang berasal dari belanja Kementerian/Lembaga (Rp256,1 triliun) serta transfer ke daerah (Rp50,59 triliun).
Efek rembesannya terus mengalir dengan mendorong penyesuaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), khususnya pada pos Pendapatan Transfer Pemerintah Pusat. Kebijakan belanja daerah diinstruksikan agar membatasi kegiatan yang bersifat seremonial, kajian, studi banding, percetakan, publikasi, dan seminar atau FGD.
Belanja perjalanan dinas dipangkas hingga 50%. Pemerintah Daerah juga diminta mengurangi besaran honorarium, belanja yang bersifat pendukung dan tidak memiliki output terukur, serta lebih selektif dalam memberikan hibah.
Sangat wajar bila respon masyarakat berkecamuk. Apalagi ingatan publik masih hangat dengan rentetan isu, mulai dari struktur “Kabinet Gemoy” yang dipandang inefisien, terbitnya SHGB laut, hingga dampak subsidi elpiji. Mahasiswa pun sudah melakukan aksi turun jalan bertagar #IndonesiaGelap. Lalu, bagaimana sebaiknya cara kita bersikap?
Efisiensi dan Efektivitas
Dalam pandangan penulis, sejujurnya ada sisi baiknya juga ihwal efisiensi anggaran, terutama kaitannya dengan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) APBD per tahun.
SiLPA menandakan jumlah belanja yang tidak mampu diserap sekaligus menakar rasio efektivitas perencanaan anggaran. Semakin besar SiLPA, maka dapat dikatakan semakin tidak efektif perencanaan anggaran.
Berdasarkan olah data dari Dirjen Perimbangan Keuangan (DJPK) Kemenkeu, dalam kurun waktu 2019-2023, rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah seluruh APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia rata-rata mencapai 8,51% per tahun. Bila cakupannya kita pilah, maka rata-rata SiLPA Provinsi sebesar 9,99% dan Kabupaten/Kota sebesar 8,40% per tahun.
Dalam lingkup Jawa Timur, Pemprov Jatim memiliki rata-rata SiLPA sebesar 13,17% dan Kabupaten/Kota sebesar 15,10% per tahun. Kabupaten Sidoarjo sendiri tergolong relatif tinggi angka SiLPA-nya, yakni rata-rata 17,70% per tahun.
Rasio SiLPA yang tergolong besar tersebut yang amat perlu kita sayangkan. Bayangkan saja, jika seluruh APBD Provinsi maupun Kabupaten/Kota tahun 2023 kita akumulasikan, nilainya mencapai Rp1.319,63 triliun.
Dengan asumsi rata-rata SiLPA sebesar 8,51%, maka terdapat Rp112,3 triliun yang “gagal” berputar sebagai mesin pembangunan pada tahun 2023. Fantastis!
Kita tentu mengingat pernah juga dipaksa berhemat pada saat pandemi Covid-19 dengan melakukan refocusing anggaran besar-besaran tahun 2020-2022. Nah menariknya, justru pada tahun 2020 rata-rata SiLPA seluruh daerah bisa ditekan hingga 7,61%. SiLPA memang perlu terus ditekan agar anggaran yang tersedia dapat lebih maksimal untuk mendanai pembangunan daerah.
Terlepas dari itu semua, ada beberapa hal yang sepatutnya menjadi perhatian dalam pengelolaan anggaran publik: Pertama, jangan sampai efisiensi mematikan atau menurunkan standar pelayanan publik, terutama untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan dan pengangguran, keamanan, serta penanggulangan bencana.
Kedua, efektivitas belanja daerah perlu disandingkan dengan efisiensi. Jadi, tidak cukup sekadar hemat, tetapi juga perlu tepat (sasaran). Tidak cukup sekadar terserap, tetapi juga perlu berdampak. Belanja daerah sudah seharusnya didesain lebih bertenaga untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Ketiga, dengan adanya keterbatasan anggaran, maka seyogianya pemerintah juga perlu menetapkan skala prioritas dan menggali potensi pembiayaan alternatif. Penulis mengapresiasi keberanian Pemerintah Pusat dengan mendirikan Danantara untuk mengelola aset dan kekayaan negara.
Kabarnya, Danantara didesain sebagai Super Holding BUMN layaknya Temasek di Singapura untuk mendukung proyek-proyek strategis nasional. Memang dengan adanya keterbatasan APBN/APBD, kita amat membutuhkan berbagai skema pembiayaan alternatif, termasuk melalui optimalisasi BUMN dan BUMD.
Keempat, membangun serta menjaga kredibilitas dan akuntabilitas sebagai modal sosial antara pemerintah dan rakyat. Secara politik, pemerintah memang berhak dan bebas mengelola anggaran sesuai dengan kebijakan perundang-undangan. Namun, jangan lupa bahwa sumber pendanaan terbesar masih berasal dari pungutan pajak.
Jika pemerintah gagal menjaga kredibilitasnya, maka jangan heran bila masyarakat akan semakin enggan membayar kewajiban pajaknya. Apalagi tahun kemarin rasio pajak (tax ratio) terhadap PDB kita menurun dari tahun 2023 sebesar 10,31% menjadi hanya sebesar 10,08%.
Jika teori yang sama kita gunakan untuk mengukur rasio pajak daerah (local tax ratio) terhadap PDRB, maka akan terlihat bahwa kinerja penerimaan pajak daerah kita masih relatif sangat kecil.
Local tax ratio kabupaten/kota di Jawa Timur dalam kurun waktu 2021-2023 baru mencapai rata-rata sebesar 0,37%. Kabupaten Sidoarjo sendiri sebagai salah satu kekuatan ekonomi Jawa Timur memiliki rata-rata local tax ratio hanya sebesar 0,49% per tahun.
Dari hasil tersebut, indikasinya semakin kuat bahwa pemerintah masih banyak yang menggantungkan pembiayaan pembangunannya di luar pajak Pemerintah Pusat maupun Daerah, misalnya dari kebijakan utang atau dana transfer dari Pemerintah Pusat ke Daerah. Oleh karena itu, Pemerintah wajib peka dan responsif untuk melayani kebutuhan masyarakat sebagai “Sang Tuan”.
Dengan kian kuatnya modal sosial antara pemerintah dengan rakyat, maka diharapkan gotong-royong dan engagement dalam pembangunan bisa berjalan semakin erat dan hebat.
***
*) Oleh : Muh. Zakaria Dimas Pratama, S.Kom., Ketua Fraksi Demokrat-NasDem DPRD Sidoarjo dan Anggota Banggar DPRD Sidoarjo.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |