TIMES MALANG, JAKARTA – Beberapa minggu kemarin, Mahkamah Konstitusi kembali membuat terobosan baru sebagai langkah progresif penegakan hukum melalui Putusan No. 150/PUU-XXII/2024. MK memberikan perluasan akses profesi advokat bagi kalangan akademisi.
Putusan ini merupakan hasil dari judicial review terhadap Pasal 3 ayat (1) huruf c dan Pasal 20 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Esensi dari putusan tersebut adalah pemberian legitimasi bagi dosen yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang mengajar di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), untuk menjalankan profesi sebagai advokat.
Menurut MK, hal ini sejalan dengan implementasi tri dharma perguruan tinggi, khususnya dalam aspek pengabdian kepada masyarakat. Karena sebagai langkah pengabdian, putusan ini menggarisbawahi bahwa layanan hukum yang diberikan oleh dosen-advokat tersebut bersifat pro bono, yang berarti diberikan secara cuma-cuma tanpa memungut biaya dari layanan.
Selain itu, MK berpandangan bahwa putusan tersebut memberikan dampak positif terhadap proses pembelajaran di lingkungan pendidikan tinggi hukum. Hal ini memungkinkan mahasiswa untuk memperoleh pengetahuan dari tenaga pengajar yang memiliki pengalaman praktis dalam penanganan perkara-perkara hukum secara nyata.
Dengan demikian, proses pembelajaran dapat lebih berorientasi pada praktis dibandingkan dengan pendekatan teoretis semata.
Namun, terobosan tersebut tidak menutup kemungkinan adanya problematika pada putusannya, terutama terkait sifat dasar advokat sebagai lembaga independen yang bebas dari berbagai kepentingan.
Dalam perspektif doktrinal, baik dalam sistem hukum civil law (Eropa Kontinental) maupun common law (Anglo-America), profesi advokat secara konsisten diposisikan sebagai profesi yang bebas dan mandiri.
Independensi ini telah dikodifikasi dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, yang bertujuan menjamin kebebasan profesi dalam pelaksanaan tugas advokat.
Jika kita menganalisis situasi dosen berstatus PNS yang juga berpraktik sebagai advokat, maka akan muncul potensi konflik kepentingan yang signifikan.
Status PNS yang merupakan aparatur negara yang terikat oleh berbagai regulasi yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri, dapat mengakibatkan ketidakefektifan dalam menjalankan fungsi advokatnya, khususnya ketika menghadapi kasus yang bersinggungan dengan pemerintah atau kebijakan pemerintah.
Situasi ini akan menciptakan dilema profesional dimana seorang PNS yang juga advokat harus memilih antara loyalitas kepada pemerintah sebagai aparatur negara atau komitmen profesionalnya sebagai advokat yaitu membela kliennya, yang tentu hal ini dapat menimbulkan konflik internal dalam pelaksanaan tugas profesionalnya.
Permasalahan yang timbul dari ketentuan ini tidak hanya menyangkut aspek pelaksanaan tugas, tetapi juga berkaitan dengan aspek pembiayaan operasional. Dalam praktiknya, seorang advokat memerlukan dana operasional untuk menjalankan tugasnya, termasuk untuk keperluan transportasi ke pengadilan dan biaya administratif seperti fotokopi dokumen.
Mengingat putusan tersebut mengharuskan pelaksanaan tugas secara pro bono (cuma-cuma), muncul pertanyaan krusial mengenai pihak yang akan menanggung biaya operasional tersebut. Konsekuensinya, beban pembiayaan operasional akan dilimpahkan kepada fakultas tempat dosen tersebut bernaung.
Situasi ini berpotensi menciptakan permasalahan baru, mengingat tidak semua fakultas hukum memiliki kapasitas finansial yang memadai untuk mendukung kegiatan tersebut. Disparitas kemampuan keuangan antara fakultas hukum di wilayah perkotaan dan daerah terpencil juga perlu dipertimbangkan.
Hal ini pada akhirnya dapat menciptakan beban anggaran yang signifikan bagi fakultas, terutama bagi institusi pendidikan yang berlokasi di daerah-daerah terpencil.
Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi ini menjadi kurang relevan bila dikaitkan dengan tujuan pembelajaran yang bersifat pengalaman, karena pada dasarnya jika ditinjau dari aspek pembelajaran, kurikulum universitas telah mencakup program magang sebagai bentuk praktik.
Hal ini telah terlaksana. Pemberian status advokat kepada dosen melalui putusan ini justru akan berpotensi menimbulkan kekhawatiran akan eksploitasi berlebihan status advokatnya yang dapat berimplikasi pada terabaikannya tugas utama sebagai tenaga pengajar. Hal ini tentu bertolak belakang dengan pertimbangan MK sendiri yang bertujuan mengoptimalkan fungsi tenaga pengajar.
Lebih lanjut, adanya persyaratan yang ditetapkan MK mengenai keharusan menjadi bagian dari LBH perguruan tinggi tentu kontradiktif dengan tujuan pengembangan pembelajaran. Persyaratan ini akan menciptakan eksklusivitas yang berimbas pada dosen-dosen yang tidak tergabung dalam kepengurusan LBH perguruan tinggi menjadi tersisihkan.
Padahal di lain sisi mereka juga memiliki kepentingan yang sama dalam mengembangkan pengetahuan praktis di bidang hukum. Hal ini mengindikasikan adanya inkonsistensi dan ambiguitas dalam pertimbangan putusan ini.
Namun, terlepas dari itu semua, pada dasarnya putusan ini memiliki tujuan positif yaitu untuk memperluas akses layanan hukum bagi masyarakat. Namun, DPR sebagai pembuat undang-undang perlu mempertimbangkan beberapa aspek krusial dalam implementasinya.
Pertama, formulasi konsep pro bono agar tidak memberatkan pihak manapun.
Kedua, penetapan batasan praktik bagi dosen advokat untuk menghindari konflik kepentingan dan tidak melupakan tugas utamanya yaitu pengajaran.
Ketiga adalah solusi atas kesenjangan distribusi layanan hukum, mengingat PTN yang mayoritas berlokasi di perkotaan, sementara kebutuhan bantuan hukum justru tinggi di daerah.
Pertimbangan-pertimbangan ini penting untuk memastikan efektivitas implementasi putusan dengan tujuan yang baik yaitu untuk mendistribusikan pelayanan hukum yang lebih luas kepada masyarakat.
Sehingga melalui putusan ini diharapkan tidak ada kasus seorang warga negara yang tidak mendapatkan bantuan hukum karena faktor biaya.
***
*) Oleh : Muhammad Jundi Fathi Rizky, Mahasiswa Aktif Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah dan Peneliti di Distrik HTN Institute.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |