TIMES MALANG, JAKARTA – Layanan Bimbingan dan Konseling (BK) di sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam mendampingi siswa menghadapi berbagai tantangan akademik, sosial, dan emosional.
Namun, hingga saat ini, masih terdapat perdebatan mengenai apakah guru BK harus berasal dari lulusan sarjana Bimbingan dan Konseling atau dapat diisi oleh guru dari disiplin ilmu lain yang diberikan pelatihan tambahan.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, dalam kebijakannya tengah mengkaji pengurangan beban mengajar guru agar mereka memiliki lebih banyak waktu untuk berperan sebagai pembimbing siswa.
Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menegaskan bahwa guru tidak hanya berperan sebagai pendidik, tetapi juga sebagai pembimbing yang membantu perkembangan psikologis dan sosial siswa.
Namun, peran bimbingan dan konseling seharusnya tidak hanya dibebankan kepada guru mata pelajaran, melainkan harus dijalankan oleh guru profesional yang memiliki kompetensi khusus di bidang ini agar layanan yang diberikan lebih efektif dan tepat sasaran.
Mengapa Guru BK harus berasal dari lulusan Sarjana Bimbingan dan Konseling?Profesi konselor pendidikan bukan sekadar memberikan nasihat kepada siswa, tetapi juga menuntut pemahaman yang mendalam tentang berbagai pendekatan, teori, teknik konseling, asesmen, serta intervensi yang tepat sesuai dengan permasalahan yang dihadapi siswa.
Lulusan sarjana Bimbingan dan Konseling telah dibekali dengan kompetensi tersebut secara akademis, sehingga mereka lebih siap dalam menangani berbagai aspek perkembangan siswa, baik dalam ranah pribadi, sosial, akademik, maupun karir dengan pendekatan yang professional.
Konseling bukan sekadar percakapan biasa, tetapi harus berlandaskan pada kode etik, seperti menjaga kerahasiaan, tidak memberikan label negatif kepada siswa, serta menerapkan pendekatan yang sesuai dengan kondisi psikologis individu.
Seorang guru mata pelajaran yang hanya mendapat pelatihan singkat mungkin tidak memahami aspek-aspek etika konseling secara menyeluruh.
Layanan bimbingan dan Konseling yang tidak dilakukan secara profesional dapat mengarah pada kesalahpahaman dalam memahami masalah siswa, sehingga layanan yang diberikan mungkin kurang tepat atau tidak efektif.
Dengan adanya guru BK yang memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai, pendekatan yang digunakan dalam konseling dapat lebih sistematis, berbasis teori, dan mempertimbangkan berbagai aspek siswa.
Alih-alih mengalihkan tanggung jawab BK kepada guru mata pelajaran, seharusnya ada kebijakan yang lebih jelas mengenai rekrutmen dan penempatan guru BK yang berasal dari lulusan sarjana Bimbingan dan Konseling.
Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap sekolah memiliki jumlah guru BK yang cukup, sesuai dengan jumlah siswa, agar layanan konseling dapat berjalan optimal.
Idealnya, perbandingan guru BK dengan siswa adalah 1:150 untuk memastikan layanan konseling dapat diberikan secara optimal.
Dengan rasio yang sesuai, guru BK dapat lebih fokus dalam memberikan bimbingan yang berkualitas, menangani berbagai permasalahan siswa secara efektif, serta membantu perkembangan pribadi, sosial, akademik, dan karir mereka dengan lebih baik.
Selain itu, perlu ada standarisasi nasional yang mengatur bahwa hanya mereka yang memiliki gelar Sarjana Bimbingan dan Konseling yang dapat menduduki posisi sebagai guru BK di sekolah.
Ini akan mencegah terjadinya kurangnya efektivitas dalam pemberian layanan akibat ketidaksesuaian latar belakang pendidikan.
Dengan demikian, kehadiran guru BK yang kompeten sangat penting dalam membantu siswa menghadapi permasalahan pribadi, sosial, akademik dan karir, sehingga mereka dapat berkembang secara optimal dan mencapai potensi terbaik mereka.
Untuk memastikan layanan bimbingan dan konseling di sekolah berjalan secara profesional dan efektif, pemerintah perlu mengalokasikan guru BK sesuai dengan kmompetesi yang dimilikinya.
Dengan menunjuk lulusan Bimbingan dan Konseling sebagai guru BK, siswa dapat memperoleh pendampingan yang lebih terarah dan sesuai dengan kebutuhan mereka.
Langkah ini juga berkontribusi dalam menciptakan lingkungan belajar yang lebih mendukung, sehingga siswa dapat menghadapi berbagai tantangan akademik, sosial, dan emosional dengan bimbingan yang berkualitas.
***
*) Oleh : Lanny Ilyas Wijayanti, Anggota Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |