TIMES MALANG, JAKARTA – Baru-baru ini dikejutkan dengan kebijakan baru yang dikelaurkan oleh Presiden Amerika Donald Trump, menaikkan tarif impor barang dari Tiongkok. Ini bukan kali pertama Trump menaikkan tarif impor.
Perang dagang dua raksasa ekonomi dunia Amerika-Tiongkok memanas semenjak 2018 yang lalu dimana kebijakan ini sebagi bentuk respon beberapa isu yang menjadi kekhawatiran Amerika. Dimana latar belakang dari perang dagang ini disebabkan defisit neraca perdagangan Amerika.
Disamping itu trust isue seperti pecurian kekayaan intelektual, subsidi kepada perusahaan hingga pemaksaan alih teknologi yang dilakukan oleh Tiongkok kepada perusahaan yang ingin berbisnis dengan negara tirai bambu ini.
Semasa pemeritahan Biden, Amerika juga membatasi akses Tiongkok pada teknologi tinggi seperti semikonduktor dan AI, hingga melarang perusahaan terknologi AS untuk menjuah chip pada perusahaan Huawei.
Hal ini langsung di respon oleh Presiden Tiongkok Xin Jiping dengan mempercepat program ‘made in china 2025’ dan mulai mengembangkan chip, AI serta robotik sendiri dan sebagai bentuk balasan Tiongkok membatasi ekspor logam tanah jarang (rare earth) jenis logam penting untuk teknologi canggih. Sehingga memaksa Amerikan dan sekutunya mencari alternatif pasokan rare earth di negara Afrika dan Amerika Selatan.
Dampak Global
Imbas dari perang dagang ini membuat ketidakpastian global serta menekan pasar saham, disamping itu banyak petani utamanya Amerika terkena imbas karena ekspor ke Tiongkok menurun drastis.
Tak hanya itu rantai pasok global juga terimbas, dimana banyak perusahaan bergantung pada kedua negara tersebut. Sehingga membuat daya beli konsumen menjadi lesu akibat mahalnya biaya impor.
Dunia kembali terbelah pasca perang dingin 1947-1991, AS membangun aliasi teknologi dan perdagangan dengan negara Eropa, Jepang dan Korea Selatan dengan konsep friend-shoring, sementara Tiongkok mempererat jaringan dengan BRICS dan negara-negara berkembang termasuk Indonesia menawarkan akses pendanaan tanpa syarat demokrasi.
Perang dingin ini membuat dunia menjadi multipolar, sehingga tak ada lagi satu negara super power, sehingga aliansi yang terbentuk tak lagi berdasakan ideologi semata.
jika dahulu perang dingin adalah soal nuklir, sekarang perangnya ada AI, chip, data serta narrative war macam Meta vs Tiktok atau Apple vs Huawei dalam artian perang dingin kali ini berdasarkan akses pasar, sumber daya, keamanan energi, pangan, teknologi dan infrastruktur digital.
Konflik AS-Tiongkok tak hanya perang dagang semata, tapi merupakan transfomasi perubahan besar tatanan dunia, negara Indonesia mampu menjadi kekuatan penyeimbang jika mampu dan cerdas memanfaatkan peluang, terlebih lagi banyak perusahaan multinasional menggunakan pendekatan baru yang dikenal dengan ‘China+1’.
Hal ini dilakukan banyak perusahaam multinasional untuk menjaga stabilitas rantai pasok global, serta mengurangi resiko dampak keteganggan geopolitik perang dagang AS-Tiongkok
Pendamping Desa: Dari Pinggiran, Menjadi Penentu
Ketika dunia sibuk membicarakan perang dagang Amerika–Tiongkok, krisis energi, atau strategi China +1, mungkin sebagian orang berpikir bahwa itu semua terlalu jauh dari kehidupan desa.
Padahal, kenyataannya sebaliknya. Dinamika ekonomi global justru semakin terasa hingga ke pelosok desa: harga pupuk melonjak, bahan pangan tak stabil, ekspor komoditas terganggu, dan peluang kerja bergeser.
Perubahan dalam tatanan ekonomi global, memiliki implikasi luas yang turut memengaruhi pembangunan dan stabilitas ekonomi perdesaan di Indonesia. Dalam konteks ini, pendamping desa memiliki posisi strategis sebagai aktor lokal yang menjembatani program pembangunan nasional dengan dinamika sosial-ekonomi masyarakat desa.
Pendamping bukan hanya sebagai pelaksana program atau pencatat administrasi, tapi sebagai agen perubahan ekonomi lokal yang adaptif terhadap globalisasi.
Namun peluang hanya akan jadi cerita kosong jika desa tak siap. Di sinilah peran pendamping sangat krusial. Mereka adalah jembatan antara kebijakan nasional dan kebutuhan masyarakat, sekaligus penghubung antara desa dan arus perubahan global.
Tak hanya itu, pendamping desa memiliki peran strategis dalam empat dimensi utama yakni pertama, trasfer infomasi dan edukasi ekonomi, pendamping desa dapat menjebatani isu-isu global seperti fluktuasi harga komoditas, inflasi global atau krisis energi sekaligus meningkatkan literasi ekonomi warga.
Kedua, peningkatan konektivitas desa terhadap peluang ekonomi global, pendamping tah hanya memfasilitasi desa untuk memenuhi standar kesiapan investasi melalui penyusunan data potensi, tapi juga melakukan peningkatan kapasitas SDM lokal serta penguatan kelembagaan ekonomi desa seperti BUMDes.
Ketiga, penguatan ekonomi lokal dan kemandirian energi atau pangan, pendamping menjadi penggerak ekonomi berbasis sumber daya lokal, mendorong energi terbarukan, pertanian organik serta model ekonomi sirkular berdasakan karteristik wilayah.
Keempat, pendamping desa melakukan transformasi digital dan inovasi sosial, dimana era digitalisasi ini UMKM dan ekonomi kreatif berbasis desa harus terhubung ke pasar yang lebih luas sehingga proses transformasi digital ini diperlukan pelatihan, pendampingan maupun adopsi teknologi tepat guna yang dilakukan oleh pendamping.
Menghadapi dinamika ekonomi global, posisi desa sebagai bagian dari sistem ekonomi nasional untuk itu, pendamping desa perlu diberikan ruang, dukungan, dan kapasitas yang memadai untuk menjalankan fungsi strategisnya sebagai agen pembangunan lokal yang responsif terhadap perubahan global.
Dunia sedang berubah. Perdagangan, teknologi, dan geopolitik tidak lagi milik kota-kota besar semata. Desa adalah bagian dari peta ekonomi dunia, dan pendamping desa adalah navigatornya
Maka jangan remehkan kekuatan dari mereka yang bekerja senyap di lapangan. Dalam pusaran globalisasi, merekalah ujung tombak kedaulatan ekonomi Indonesia dari pinggiran, menjadi penentu
Namun sayangnya, masih banyak pendamping desa yang bekerja dalam ketidakpastian, honorarium yang tak menentu, beban kerja yang tinggi, dan minimnya akses peningkatan kapasitas.
Jika negara ingin desa kuat menghadapi dunia, maka pendamping desa juga harus diperkuat dari segi kapasitas, kesejahteraan, dan pengakuan peran strategis mereka. (*)
***
*) Oleh : Moch. Efril Kasiono, Pendamping Desa.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |