TIMES MALANG, JAKARTA – Dalam sistem negara hukum, pengisian jabatan publik tidak hanya bersandar pada prinsip keterbukaan atau partisipasi, tetapi juga harus mempertimbangkan kualitas dan kompetensi dari individu yang hendak mengisi jabatan tersebut.
Salah satu celah yang hingga kini masih luput dari perhatian serius adalah standar pendidikan bagi calon anggota legislatif. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, disebutkan bahwa pendidikan minimal bagi calon anggota DPR, DPRD provinsi, maupun kabupaten/kota hanyalah lulusan SMA atau sederajat. Pertanyaannya, cukupkah itu?
Fungsi legislatif dalam sistem ketatanegaraan sangat strategis dan kompleks. Selain menyusun undang-undang, anggota dewan juga memiliki fungsi pengawasan terhadap pemerintah serta kewenangan dalam penyusunan anggaran negara.
Artinya, selain memiliki pemahaman hukum, mereka juga dituntut untuk memahami kebijakan publik, administrasi negara, hingga etika pemerintahan. Beban kerja seperti itu tentu memerlukan bekal intelektual yang tidak sederhana.
Maka ketika standar pendidikan hanya sebatas lulusan SMA, muncul kekhawatiran: apakah mereka memiliki kapasitas yang cukup untuk menjalankan fungsi tersebut secara efektif?
Kegelisahan ini bukan tanpa dasar. Dalam sebuah diskusi sederhana bersama kawan-kawan di warung kopi, pertanyaan itu muncul secara spontan: bagaimana mungkin seseorang yang hanya memiliki latar pendidikan dasar bisa menyusun dan memahami produk hukum yang akan berdampak pada 270 juta lebih rakyat Indonesia?
Jangan sampai proses pencalonan hanya menjadi alat transaksional politik, di mana keterpilihan seseorang lebih karena kekuatan modal, bukan kapasitas intelektual.
Banyak kasus menunjukkan, ada anggota dewan yang justru gagal memahami substansi legislasi yang mereka hasilkan sendiri. Ini tentu bukan hanya soal individu, tapi soal sistem rekrutmen politik kita yang belum ideal.
Memang, jika kita menilik alasan historis, ada logika di balik ditetapkannya syarat minimal SMA. Pada masa awal reformasi dan sebelumnya, jumlah lulusan perguruan tinggi memang masih terbatas. Maka agar partisipasi politik lebih inklusif, standar pendidikan itu dibuat lebih longgar.
Kini, situasinya sudah berbeda. Lulusan sarjana semakin banyak, dan akses pendidikan tinggi pun semakin terbuka. Maka sudah sewajarnya jika regulasi yang ada ikut diperbarui sesuai semangat meritokrasi dan tuntutan zaman.
Menariknya, meskipun belum ada permohonan judicial review yang secara spesifik menguji syarat pendidikan minimal bagi calon anggota legislatif di Mahkamah Konstitusi, upaya untuk merevisi Undang-Undang Pemilu telah dilakukan.
Dalam draf revisi UU Pemilu, sempat diusulkan agar syarat pendidikan minimal bagi calon legislatif ditingkatkan menjadi lulusan perguruan tinggi. Namun, usulan ini mendapat penolakan dari beberapa partai politik, termasuk PPP, PDIP, dan PKB, yang berpendapat bahwa syarat pendidikan minimal SMA sudah cukup dan tidak perlu diubah.
Jika mengubah syarat minimal pendidikan dinilai terlalu drastis, maka opsi lain yang bisa dipertimbangkan adalah penerapan uji kompetensi bagi para calon anggota legislatif. Uji ini tidak untuk meniadakan hak politik warga, melainkan sebagai alat ukur objektif terhadap kemampuan dasar dalam memahami sistem hukum, pemerintahan, dan legislasi. Justru di sinilah negara hadir untuk menjaga kualitas lembaga legislatif tanpa mengorbankan prinsip demokrasi.
Sebagian pihak mungkin akan mengkritik bahwa syarat pendidikan atau uji kompetensi semacam ini berpotensi membatasi hak politik warga negara. Namun perlu dipahami bahwa setiap jabatan publik memang mengandung konsekuensi pengaturan.
Seperti halnya syarat umur atau kesehatan fisik dan mental, syarat pendidikan juga merupakan instrumen normatif untuk menjamin kualitas penyelenggara negara. Demokrasi bukan hanya soal siapa yang bisa ikut, tetapi juga tentang siapa yang layak dan pantas menjalankan amanah.
Sebagai mahasiswa Hukum Tata Negara, saya percaya bahwa penguatan institusi legislatif tidak hanya dapat dilakukan dari luar, melalui kontrol rakyat atau media, tetapi juga dari dalam, melalui penyempurnaan regulasi pencalonan. Apalagi saat ini kita sedang menatap Indonesia Emas 2045.
Jika cita-cita itu ingin benar-benar terwujud, maka langkah awal yang harus dilakukan adalah memastikan bahwa orang-orang yang duduk di kursi kekuasaan adalah mereka yang benar-benar layak secara moral, intelektual, dan konstitusional.
***
*) Oleh : Rikza Anung Andita Putra, Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
_____
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |