TIMES MALANG, JAKARTA – Idaman mertua, penghasilan stabil, jaminan masa tua dan dipandang sukses oleh sebagian orang, begitu katanya. Mungkin itulah yang terlintas dibenak masyarakat kita kebanyakan mengenai profesi ini. Sehingga, banyak yang berlomba-lomba untuk bisa menjadi pegawai negeri.
Namun, menjadi seorang pegawai negeri bukan perkara mudah. Terdapat proses panjang untuk meraihnya, mulai dari seleksi administrasi, seleksi kompetensi dasar (SKD), seleksi kompetensi bidang (SKB) yang mana keduanya menggunakan Computer Assisted Test (CAT) dan terakhir pemberkasan akhir.
Meski tergolong bukan hal yang mudah, hal tersebut tidak menyurutkan kebanyakan orang untuk mengikutinya, yang besar kemungkinan atas dasar dorongan dari stereotip tersebut.
Fenomena ini seperti refleksi dari sebuah kebudayaan yang sulit lepas dari masa lalu. Berdasarkan sejarah yang dilansir dari laman Kompas, pekerjaan pegawai negeri sudah ada sejak era kolonial.
Mereka berasal dari kalangan bumiputera yang dipekerjakan oleh pihak Belanda untuk melaksanakan segenap operasi pekerjaan baik administrasi maupun pekerjaan kelas bawah.
Singkatnya, pegawai negeri atau yang pada saat itu bernama Ambtenaar ialah orang yang mendapat kepercayaan dari pihak kolonial yang mana memegang status sosial dan kedudukan penting dalam pemerintahan Hindia Belanda pada masa tersebut.
Setelah kemerdekaan, pegawai negeri masih menjadi ikon stabilitas dan keberhasilan seseorang di mata masyarakat terutama di daerah-daerah.
Bahkan pada kasus-kasus tertentu ada yang rela bayar mahal untuk persiapan tes CPNS, ada yang rela jual sawah untuk membayar calo bahkan ada cerita miris soal uang ‘’pelicin’’ yang sampai saat ini penulis belum tahu kebenarannya.
Hal ini bukan hanya soal seseorang yang menginginkan pekerjaan, tetapi juga berbicara mengenai jaminan hidup dan kepastian. Kedua hal ini dianggap jalan keluar dari segala ke khawatiran hidup apalagi di daerah-daerah, dimana peluang ekonomi seringkali terbatas.
Dari segala sisi terang dan gelap nya timbul pertanyaan di kepala penulis, apakah benar menjadi pegawai negeri saat ini adalah jalan pintas menuju kesejahteraan?
Faktanya, gaji seorang pegawai negeri tidak senikmat yang digambarkan kebanyakan orang. Merujuk pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2024 tentang Perubahan Kesembilan Belas atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil, gaji yang diberikan oleh Negara kepada pegawai negeri hanya berkisar sekitar Rp.1.600.000,00 sampai dengan Rp.6.300.000,00 tergantung golongan.
Lalu bagaimana dengan tunjangan? Lagi lagi besaran yang di dapat itu tergantung dengan K/L/D tempat pegawai negeri itu bekerja. Menurut penulis, jika dibandingkan dengan biaya hidup di kota-kota besar hal ini jelas tidak sebanding.
Lalu apa yang sebenarnya terjamin? mungkin lebih pada ilusi rasa aman yang ditawarkan, kesinambungan gaji yang terjamin dan proses pengajuan kredit yang bisa dibilang relatif mudah.
Di beberapa daerah tertentu, pegawai negeri bukan hanya pekerjaan melainkan masyarakat kebanyakan mempunyai stigma yang berlebihan dalam hal glorifikasi terhadap pekerjaan tersebut.
Dalam banyak kasus orang lebih menghormati pegawai negeri ketimbang pengusaha kecil yang sebenarnya mungkin lebih baik secara finansial karena masyarakat kita umumnya memandang pekerjaan pemerintah sebagai pekerjaan yang formal dan berkualitas, lagi lagi perspektif ini merupakan warisan kolonial.
Peristiwa ini juga harus dilihat dari perspektif realitas ekonomi setiap daerah, tidak semua tempat punya kesempatan yang sama layaknya di kota besar seperti Tangerang Selatan misalnya. Di daerah, opsi pekerjaan seringkali terbatas pada hal-hal tradisional seperti pertanian, pekerjaan serabutan atau bahkan memilih untuk merantau ke kota atau negara orang yang seringkali dihinggapi rasa ketidakpastian hidup.
Jadi, ketika profesi lain menawarkan ketidakpastian, pegawai negeri menjadi pilihan yang paling realistis. Sayangnya perspektif atau stigma seperti ini menciptakan mentalitas jalan aman yang menumpulkan gairah inovasi.
Akibatnya, antusiasme terhadap keinginan menjadi pegawai negeri ini mendeskripsikan hal yang lebih rumit yaitu belum terpenuhinya akses terhadap peluang kerja yang beragam, stigma sosial dan mungkin sistem pendidikan yang terlalu main aman. Menurut penulis masyarakat kita perlu mengubah narasi ini dan mulai membuka fikiran tentang berbagai alternatif pekerjaan di luar sana.
Di zaman dengan keterbukaan informasi seluas ini, peluang kerja ada dimana mana. Masyarakat kita mungkin juga perlu untuk mendefinisikan ulang mengenai makna ‘’Sukses’’.
Apakah sukses hanya sekedar punya gaji tetap dan pensiunan atau sukses adalah kemampuan untuk berkarya, membuka lapangan kerja dan memberikan dampak nyata pada lingkungan?
Maka pada akhirnya, mari kita renungkan apakah menjadi pegawai negeri merupakan tujuan akhir atau hanya sekedar pelarian dari ilusi kenikmatan atas ketidakpastian?
***
*) Oleh : Andi Adriansah, Pegawai Negeri Sipil.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |