TIMES MALANG, TUBAN – Menurut data UNESCO, ada sekitar 2.464 bahasa di seluruh dunia yang terancam punah, dan 144 di antaranya berada di Indonesia. Dengan jumlah ini, bisa dikatakan Indonesia berada dalam posisi rentan dalam hal pelestarian bahasa daerah.
Indonesia sendiri yang dikenal dengan kekayaan budaya dan bahasanya, menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan bahasa-bahasa daerah. Salah satu yang paling mencolok adalah Bahasa Jawa Krama, yang semakin terpinggirkan di kalangan generasi muda, khususnya Gen Z.
Indonesia memiliki keragaman bahasa yang luar biasa, namun banyak bahasa minoritas yang menghadapi tantangan serius untuk bertahan. Beberapa faktor yang menyebabkan hal ini antara lain adalah minimnya dokumentasi, terbatasnya ruang penggunaan bahasa di kehidupan sehari-hari, anggapan bahwa bahasa daerah kuno dan tidak relevan, serta kurangnya perhatian terhadap penggunaan bahasa daerah di media, sekolah, dan pemerintahan.
Ironisnya, bahkan bahasa yang dianggap mayoritas seperti Bahasa Jawa dan Bali pun menghadapi ancaman serupa. Salah satu contoh nyata adalah penggunaan Bahasa Jawa Krama, yang kini mulai langka, terutama di kalangan generasi muda.
Perpindahan penduduk ke perkotaan dan pengaruh besar media sosial turut berperan dalam menurunnya penggunaan bahasa daerah. Di kota-kota besar, bahasa Indonesia menjadi bahasa yang dominan digunakan dalam komunikasi sehari-hari.
Bahkan banyak yang lebih bangga menguasai bahasa asing daripada bahasa daerah mereka sendiri. Hal ini mengakibatkan semakin sedikitnya orang yang merasa perlu menggunakan bahasa Jawa Krama dalam percakapan sehari-hari.
Padahal, bahasa memiliki peran yang jauh lebih penting dari sekadar alat komunikasi. Bahasa adalah cerminan cara berpikir, merasakan, dan melihat dunia. Hilangnya sebuah bahasa berarti hilangnya perspektif yang dimiliki oleh penuturnya.
Indonesia, dengan segala keragamannya, menghadapi tantangan besar dalam pelestarian bahasa, terutama bahasa daerah. Oleh karena itu, menjaga kelestarian bahasa Jawa Krama menjadi penting agar warisan budaya ini tidak lenyap begitu saja.
Memudarnya Penggunaan Bahasa Jawa Krama
Perubahan dalam penggunaan bahasa Jawa, terutama Bahasa Jawa Krama, terjadi dengan sangat cepat. Fenomena ini tidak hanya terjadi di perkotaan, tetapi juga di desa-desa.
Banyak orang tua di daerah Jawa memilih menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari, karena mereka percaya bahasa Indonesia memberikan peluang yang lebih baik bagi anak-anak mereka di masa depan.
Remaja masa kini, khususnya generasi Z, cenderung lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia ketika berbicara dengan orang yang lebih tua yang seharusnya menggunakan Bahasa Jawa. Kaum milenial sering merasa terbebani dengan kewajiban menggunakan Bahasa Jawa Krama dalam percakapan karena khawatir salah memilih kata atau ucapan yang tidak tepat.
Alasan lain yang membuat mereka enggan menggunakan bahasa Jawa Krama adalah rasa takut akan ketidaktepatan pengucapan yang dapat dianggap tidak sopan atau tidak sesuai dengan norma.
Bahasa Jawa sendiri memang dikenal dengan sistem tutur kata yang kompleks dan bertingkat, yang memperhitungkan status sosial serta hubungan antara penutur dan lawan bicara. Misalnya, kata "pergi" dalam Bahasa Jawa memiliki berbagai bentuk, seperti lunga dalam Bahasa Ngoko, kesah dalam Bahasa Madya, dan tindak dalam Bahasa Krama.
Penggunaan bahasa Jawa yang tepat bergantung pada pemahaman yang mendalam mengenai kedudukan sosial lawan bicara, sesuatu yang seringkali tidak dikuasai oleh generasi muda karena kurangnya pembelajaran dan pengaplikasian dalam kehidupan sehari-hari.
Meskipun banyak generasi Z yang merasa tidak mahir dalam menggunakan Bahasa Jawa Krama, mereka tetap menunjukkan minat untuk mempelajari bahasa ini lebih lanjut. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan memasukkan pelajaran bahasa daerah, khususnya Bahasa Jawa, dalam kurikulum sekolah. Namun, penerapan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari sangat bergantung pada kesadaran dan keinginan pribadi masing-masing individu.
Penggunaan Bahasa Jawa di Era Kini
Seperti yang telah disebutkan, kekhawatiran generasi Z tentang ketidaktepatan mereka dalam menggunakan bahasa Jawa Krama sering kali didasarkan pada standar yang kabur. Perbedaan generasi dalam memandang "bahasa Jawa yang benar" mungkin menjadi penyebab utama kebingungan ini.
Apa yang dianggap benar oleh satu generasi, belum tentu dianggap benar oleh generasi lain. Ini menunjukkan bahwa tidak ada standar baku yang jelas dalam penggunaan bahasa Jawa Krama di kalangan masyarakat.
Namun, di tengah penurunan penggunaan Bahasa Jawa Krama, banyak juga generasi muda yang berusaha mempopulerkan budaya Jawa melalui media modern. Misalnya, YouTuber Bayu Skak, komposer muda Eka Gustiwana, dan grup musik Hip-Hop Jogja Hip-Hop Foundation (JHF) telah memanfaatkan media sosial untuk mengenalkan budaya Jawa melalui karya-karya yang menarik dan relevan dengan generasi muda. Mereka adalah contoh bagaimana seni dan budaya Jawa dapat disajikan dalam bentuk yang lebih modern dan dapat diterima oleh kalangan milenial.
Penting untuk kita akui bahwa penggunaan Bahasa Jawa Krama memang semakin berkurang. Namun, meskipun tren ini mengkhawatirkan, kita tidak perlu pesimis terhadap kemampuan generasi Z untuk menjaga dan melestarikan bahasa Jawa Krama.
Melalui pendidikan, apresiasi terhadap budaya lokal, dan adaptasi terhadap perkembangan zaman, kita masih bisa berharap bahwa Bahasa Jawa Krama akan tetap hidup, meskipun dalam bentuk yang lebih relevan dengan kebutuhan dan tuntutan zaman.
Pelestarian bahasa daerah, termasuk Bahasa Jawa Krama, merupakan tantangan besar di tengah globalisasi dan perkembangan teknologi. Namun, hal ini bukanlah sebuah masalah yang tak bisa diatasi.
Dengan melibatkan generasi muda dalam pembelajaran dan penggunaan bahasa Jawa secara kreatif dan kontekstual, kita dapat memastikan bahwa bahasa ini tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang.
Upaya untuk melestarikan bahasa Jawa Krama harus dimulai dari kesadaran kita sebagai individu dan komunitas untuk menjaganya sebagai bagian dari identitas budaya yang tak ternilai harganya.
***
*) Oleh : Firda’sa Nurvika Nugroho, Mahasiswa Pendidikan Profesi Guru Universitas PGRI Ronggolawe.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |