TIMES MALANG, MALANG – Saat menonton film-film fantasi, kalian pasti pernah melihat sebuah aksara asing yang biasanya terpahat di atas permukaan batu. Mungkin kalian berpikir bahwa aksara ini hanyalah tulisan-tulisan tidak jelas yang tidak memiliki arti. Pernyataan itu mungkin saja benar, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa aksara tersebut memiliki arti tersendiri.
Dalam film Lord of The Rings terdapat aksara yang berasal dari bahasa yang sangat asing. Tetapi, menurut authornya sendiri, J. R. R. Tolkien, bahasa yang asing tersebut bukanlah aksara yang ditulis secara acak dan mereka memiliki arti serta lafal pengucapan tersendiri.
Hal yang paling mengesankan adalah, Tolkien tidak hanya menciptakan satu bahasa fiksi, tetapi ia membuat sebanyak 5-6 bahasa. Beberapa diantaranya adalah bahasa elf, bahasa dwarf, dan black speech. Inilah yang disebut dengan bahasa fiksi, yaitu bahasa yang kerap dapat ditemukan di media-media seperti buku, film, dan game yang bertemakan fiksi.
Menurut Overbeeke, bahasa fiksi atau bahasa karangan yang dibuat untuk sebuah cerita, memiliki tujuan untuk menopang dunia fiksi dalam cerita tersebut. Namun, apakah bahasa fiksi dibutuhkan untuk semua karya fiksi? Dan apa yang harus diperhatikan dalam membuat bahasa fiksi dalam sebuah cerita fiksi? Mari kita telusuri lebih lanjut!
Karena kerumitan dalam penciptaannya, bahasa fiksi jarang ditemukan di kebanyakan karya-karya fiksi. Seringkali, bahasa fiksi hanya ditemukan dalam cerita fiksi yang mengandung fantasi dan memiliki isi dunia yang luas dan beragam.
Contoh lainnya adalah game Arknights yang memiliki dunia yang dihuni lebih dari 50 ras yang berbeda. Dunia fiktif di dalam sebuah cerita dengan keberagaman seperti ini membutuhkan konstruksi dan pengembangan dunia yang kuat agar cerita yang dihasilkan dapat membentuk satu kesatuan yang utuh.
Oleh karena itu, dibuatlah bahasa fiksi yang hanya terdapat di dunia itu untuk mengembangkan sejarah serta cerita yang berhubungan dengan ras tertentu. Namun, hal ini tentu sangat merepotkan apabila setiap ras yang ada diberikan satu bahasa fiksi khusus untuk mereka.
Untuk mengakali hal ini, biasanya jalan keluar yang diambil penulis adalah hanya menciptakan bahasa fiksi untuk ras tertentu saja, khususnya ras yang terlibat dalam konflik utama pada cerita tersebut.
Untuk membuat aksara pada bahasa fiksi, dibutuhkan kreativitas yang sangat tinggi, dimulai dari desain bentuk aksara pada bahasa tersebut serta bagaimana susunan penulisannya dalam sebuah kalimat. Sepanjang sejarah manusia kita dapat melihat bahwa bentuk aksara di satu bahasa dengan bahasa yang lain sangatlah berbeda, hal ini disebabkan oleh satu faktor utama, yaitu faktor media penulisan. Faktor ini meliputi alat tulis serta permukaan benda untuk menulis.
Faktor ini berperan penting dalam penciptaan suatu aksara karena peradaban di masa lalu mementingkan kemudahan dalam menulis, sebagai contoh, di masa mesopotamia kuno yang masih belum ada kertas, peradaban mereka menggunakan tablet dari tanah liat yang digunakan untuk mengukir aksara untuk menjadi sebuah tulisan.
Hal ini menyebabkan aksara yang dihasilkan berbentuk seperti ukiran-ukiran yang tajam, karena mereka ditulis dengan cara memahat atau mengukir menggunakan pulpen yang berasal potongan bambu yang keras. Tentu hal ini akan bervariasi dan bergantung pada budaya dan tempat sebuah peradaban tersebut.
Dalam aplikasinya di dunia fiksi, faktor ini secara tidak langsung menjelaskan budaya dan sejarah peradaban yang menggunakan bahasa fiksi tersebut. Seperti bagaimana mereka menulis tulisan tersebut dan tempat seperti apa yang mereka jadikan tempat tinggal.
Sebagai kesimpulan, penciptaan dan penggunaan bahasa fiksi dalam suatu karya menambahkan bobot pada karya tersebut, terlebih lagi di dalam pengembangan dunia fiksi yang cakupannya sangat luas. Hal ini tentu membutuhkan kreativitas dalam menciptakan suatu aksara yang memiliki kerumitan tinggi.
Jika dilakukan dengan baik dan tepat sasaran, dapat membuat audiens lebih tertarik ke dalam dunia fiksi yang mereka baca atau tonton. Hal ini dikarenakan bahasa fiksi yang diberikan kepada penghuni dunia fiksi tersebut membuat dunianya terasa lebih hidup dari sudut pandang audiens.
***
*) Oleh : Muhammad Aldiyan, Intern Times Indonesia Divisi Sosial Media 2023-2024.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |