TIMES MALANG, MALANG – Kasus pembunuhan yang dilakukan oleh remaja belia (berumur 14 tahun) di Tangerang menjadi sinyal serius bagi masyarakat. Sungguh memilukan kejadian yang seharusnya tidak perlu terjadi, tetapi harus menjadi realitas memprihatinkan, terutama bagi dunia Pendidikan. Apakah ada yang salah dalam proses Pendidikan selama ini? Baik yang berlangsung di dalam Pendidikan formal maupun non formal?
Anak seumur itu selayaknya berkembang menjadi pribadi yang aktif, dinamis, cerdas, bahkan shalih, bukan sebaliknya tumbuh berkembang menjadi sosok agresif, bengis, culas, bahkan predator bagi orang di sekitarnya. Lebih menyedihkan lagi bahwa korban pembunuhan adalah ayah dan nenek sendiri dari si pelaku. Seakan dunia ini sudah runtuh dan tidak aman-nyaman lagi bagi kehidupan manusia. Apa kondisi kesehatan mental anak-anak sudah begitu parah terluka dan mengalami penyakit yang sangat akut?
Tugas masyarakat Pendidikan formal dan non formal bukan sekedar transfer keilmuan dan keterampilan, namun lebih dari itu yang terpenting adalah transfer moral, etika, akhlak. Pendidikan karakter yang didengungkan sejak beberapa tahun lalu belum membuahkan hasil yang memuaskan, justru beragam kasus memprihatinkan muncul dari dunia Pendidikan, yang sejatinya merupakan tempat pembentukan karakter dan mental positif bagi anak didik.
Sebaliknya, kenyataan paradoks menyeruak dengan banyaknya peristiwa bullying, kekerasan, perkelahian, dan sebagainya. Apa fungsi Pendidikan sudah lenyap? Apakah Lembaga Pendidikan sudah mati? Sebagaimana pernyataan Everett Reimer dalam bukunya School is Dead: Alternative in Education.
Atau lebih mengerikan lagi Friedrich Nietzsche yang mengatakan bahwa Tuhan telah Mati. Maknanya adalah nilai-nilai Pendidikan dan ketuhanan dalam kehidupan manusia telah hilang dan tidak menyentuh perilaku dan tindakan manusia. Unsur kebinatangan lebih mendominasi watak manusia, ada proses dehumanisasi dalam kehidupan manusia yang seharusnya bermartabat.
Ranah kognisi dan psikomotori memang penting, tetapi yang lebih penting lagi adalah ranah afeksi. Pada ranah inilah para pendidik dapat membentuk dan membangun watak karakter anak didik sebagaimana yang dikehendaki (menjadi pribadi yang berwatak positif). Perlu sentuhan yang tidak cukup berpusat pada persoalan lahiriyah (eksoterisme), namun perlu juga para pendidik memperhatikan aspek isoterisme yang menyinggung persoalan rasa, hati, emosi, dan lainnya.
Aspek batiniah bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh karena di situlah sumber penanaman nilai-nilai luhur nan agung agar anak didik menjadi orang-orang yang pintar sekaligus benar. Proses Pendidikan bukan sekedar rutinitas formalitas, tetapi juga proses transfer nilai yang berkelanjutan tak terbatas.
Pola hubungan strukturalis pendidik-anak didik butuh diubah menjadi pola hubungan yang humanis yakni orang tua asuh-anak asuh, sehingga muncul kedekatan emosional yang sangat erat dalam diri masing-masing pihak. Rasa sayang mendalam yang dimunculkan dari hati ikhlas para pendidik akan berdampak positif terhadap perkembangan mental.
Terkadang anak sudah tidak mendapat pengasuhan yang baik di rumah, maka di sekolah jangan sampai mereka mendapat perlakuan lebih buruk lagi. Kesehatan mental anak dapat dicapai melalui Pendidikan yang memperhatikan aspek isoterisme, sentuhan kasih sayang akan membawa suasana mental anak semakin teduh, nyaman dan menganggap pendidik lebih dari orang tua kandungnya.
Pembentukan ekologi yang penuh keramahan, kasih sayang, dan kedamaian dibutuhkan oleh anak didik dalam masa-masa perkembangan kesehatan mentalnya. Perlakukan mereka sebagaimana anak kandung, maka mereka akan merasa betah bersama pendidik yang peduli dengan ranah isoterimse, tindakan pendidik bersumber dari hati yang bersih murni ingin mengantarkan anak-anak bangsa ke masa depan ceria dan cerah.
Suasana hati dan mental anak jangan dipenuhi dengan tindakan-tindakan kontraproduktif yang mengganggu kesehatan mental. Perbanyak program-program ekstrakulikuler yang berorientasi pada pembentukan watak-karakter positif dan mengedepankan isoterisme dalam proses Pendidikan. (*)
***
*) Oleh : Mohammad Afifulloh, Dosen Fakultas Agama Islam dan Pascasarjana Unisma Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |