TIMES MALANG, MALANG – Tanggal 25 Februari 2022 mungkin menjadi hari paling buruk bagi perempuan asal Malang bernama Febry Wijayanti. Pada tanggal itu, Rusia memulai perang melawan Ukraina, sementara Dosen UM (Universitas Negeri Malang) itu tengah menempuh studi di Rusia.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UM itu, kini merasakan dampak secara langsung perang Rusia dengan Ukraina. Bagaimana tidak, pada 24 Februari 2022 Febry yang seharusnya merasakan bahagia di libur musim dingin, harus merasakan hal yang mencekam karena sempat tertahan di Bandara Istanbul, Turki.
Menurutnya, perjalanan Istanbul ke Moscow yang biasanya memakan waktu 3 jam harus molor menjadi 6 jam karena rute perjalanan pesawat mengalami perubahan akibat invasi Rusia ke Ukraina tersebut.
Akan tetapi keajaiban berpihak kepada wanita berusia 32 tahun tersebut. Febry yang berasal dari Kelurahan Tasikmadu, Lowokwaru, Kota Malang itu bersyukur masih bisa melanjutkan perjalanan ke Kota Yekaterinburg.tempat ia melanjutkan studi S3 Ekonomi di Ural Federal University.
"Memang ada protes dan sampai ada polisi anti huru hara. Namun aksi protes tak bisa sembarangan karena harus mendapat izin dulu, bila tidak maka akan dibubarkan," ujar Febry, Kamis (10/3/2022).
Meski demikian, Febry mengaku kegiatan kampus tidak terhambat karena masalah tersebut. Kegiatan belajar pun berjalan seperti biasa karena sudah memakai format offline. Namun tetap saja ada beberapa situs pendidikan yang tak bisa diakses, seperti Coursera dan Grammarly.
Febry yang telah menempuh studinya sejak 2007 lalu atau tepatnya 5 tahun lalu baru kali ini merasakan suasana Rusia memanas karena perang. Ia juga mengetahui banyak sekali gelombang penolakan dari para mahasiswa Rusia terhadap pemerintah. Setiap hari demo terus terjadi, namun aksi penyerangan terus saja berlangsung hingga saat ini.
Perlu diketahui, Kota tempat tinggal Febry, yakni Yekaterinburg masih terbilang aman dari serangan. Sebab, konflik terjadi di perbatasan Belgorod dan jarak dari kota yang ditempati Febry, jaraknya kurang lebih 90 kilometer.
Saat wawancara, Febry menjelaskan kondisi kota tempatnya tinggal sangatlah sepi. Hanya segelintir warga saja yang keluar dari rumah mereka masing-masing. Padahal, biasanya kata Febry, aktivitas warga di tempatnya terbilang padat. Mulai dari warga yang berjalan-jalan, olahraga sekedar belanja ke supermarket.
Namun ia menjelaskan jika sepinya situasi bukanlah karena perang, tetapi karena adanya hari libur internasional Women's Day di Rusia. "Bisa terbilang masih aman di sini. Meski banyak penjagaan dari polisi juga ketat," katanya.
Selama dua pekan gejolak konflik Rusia dan Ukraina berlangsung, Febry hanya bisa pasrah dengan situasi saat ini. Apalagi saat ini untuk mencari kebutuhan pokok mulai terasa susah. Selain itu, harga-harga mulai naik. Bayangkan saja, harga satu kotak susu yang biasanya 50 rubel, kini menjadi 70 rubel atau setara dengan Rp 7 ribu.
"Harga itu sebenarnya murah, tapi bagi masyarakat Rusia harga tersebut cukup mahal. Apalagi sempat langka, hanya untuk susu saja. Saya di sini juga susah cari ATM untuk menarik uang," jelasnya.
Parahnya lagi, akses komunikasi hampir semuanya diblokir untuk sementara waktu. Kesulitan tersebut, karena pihak Amerika Serikat yang memutuskan akses untuk warga Rusia.
Akses tersebut, diantaranya seperti media sosial Facebook dan Twitter. Sementara untuk akses Google, ada limitation (batasan). Beruntung, WhatsApp masih bisa digunakan dengan baik. Dengan kondisi seperti ini, doa dan doa terus ia panjatkan saat bercerita melalui aplikasi zoom meeting.
"Orang tua saya tak berhenti menelepon atau bahkan sekedar mengirim pesan apa kabar kepada saya. Mereka sempat cemas setelah dengan konflik Rusia dan Ukraina," tuturnya.
Selain masalah-masalah di atas, ada kecemasan lain yang terus menyelimuti Febry yang kini tengah menyiapkan ujian disertasi dalam waktu dekat. Ia berharap, operasi militer Rusia ke Ukraina tidak menganggu studinya.
Tak hanya dirinya, beberapa WNI (Warga Negara Indonesia) yang Febry kenal di Rusia juga merasa cemas. Info yang didapatnya, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Moscow bakal membangun Safe House untuk menjamin keamanan mereka.
"Tapi saya gak berharap kebijakan itu. Sebenarnya warga sini menyebutnya operasi spesial, tapi serasa perang," tandas Febry Wijayanti, Dosen UM Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
CATATAN: Berita ini sudah melalui proses editing dan penyesuaian dari berita sebelumnya setelah narasumber mengirim surat klarifikasi ke Redaksi TIMES Indonesia. (*)
Pewarta | : Rizky Kurniawan Pratama |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |