https://malang.times.co.id/
Forum Mahasiswa

Wajah Mahasiswa Hari Ini

Sabtu, 20 Desember 2025 - 23:44
Wajah Mahasiswa Hari Ini Baihaqie, Kader HMI dan Mahasiswa Hukum Universitas PGRI Kanjuruhan Malang.

TIMES MALANG, MALANG – Mahasiswa selalu disebut sebagai wajah masa depan. Dalam banyak pidato, mereka dielu-elukan sebagai agen perubahan, penjaga moral publik, dan cadangan kepemimpinan bangsa. Namun pertanyaan pentingnya bukan lagi apakah mahasiswa masih dominan, melainkan: dominan dalam hal apa, dan untuk kepentingan siapa?

Hari ini, mahasiswa hadir di hampir semua ruang. Mereka aktif di media sosial, mengisi forum publik, menjadi relawan, konten kreator, aktivis isu, hingga bagian dari mesin politik elektoral. Dominasi ini terlihat jelas secara kuantitatif. Namun secara kualitatif, peran itu justru tampak terfragmentasi. Mahasiswa hadir, tetapi sering kehilangan arah bersama.

Wajah mahasiswa hari ini tidak lagi tunggal. Ia plural, cair, dan cepat berubah. Ada mahasiswa yang konsisten bergerak di isu keadilan sosial, lingkungan, dan hak-hak warga. Namun tak sedikit pula yang larut dalam pragmatisme, menjadikan status mahasiswa sebagai identitas sementara untuk membangun jejaring kuasa, popularitas digital, atau sekadar portofolio personal. Aktivisme berubah menjadi branding.

Media sosial mempercepat perubahan ini. Mahasiswa kini tak harus turun ke jalan untuk bersuara. Cukup dengan unggahan, opini bisa viral, solidaritas bisa dibangun, dan tekanan publik bisa tercipta. Ini capaian besar. Namun di saat yang sama, perlawanan pun berisiko menjadi dangkal. Isu diangkat tanpa pendalaman, kritik disampaikan tanpa basis pengetahuan, dan kemarahan publik dikapitalisasi demi atensi.

Dominasi mahasiswa hari ini juga terlihat dalam ruang wacana. Mereka cepat merespons isu, vokal, dan berani. Tetapi keberanian itu sering kali tidak diiringi kedalaman analisis. Banyak pernyataan keras lahir lebih dulu, sementara proses berpikir menyusul belakangan. Akibatnya, mahasiswa mudah terjebak dalam polarisasi, simplifikasi masalah, dan logika hitam-putih yang justru melemahkan posisi moral mereka sendiri.

Masalah lain yang tak kalah serius adalah kooptasi. Dalam sistem politik dan ekonomi yang makin cair, mahasiswa menjadi target empuk. Mereka direkrut, dirangkul, bahkan dipelihara oleh kepentingan tertentu. Bahasa pergerakan dipakai, tetapi arah geraknya dikendalikan. Mahasiswa tetap terlihat kritis, namun kritiknya selektif. Dominan secara visual, tetapi kehilangan otonomi substantif.

Di kampus, wajah mahasiswa juga mengalami pergeseran. Ruang intelektual yang seharusnya menjadi basis kritik justru sering terjebak dalam rutinitas akademik. Diskusi ilmiah kalah oleh tuntutan IPK, sertifikat, dan magang. Aktivisme pun kerap dipisahkan dari tradisi berpikir. Mahasiswa aktif bergerak, tetapi jarang membaca; lantang bersuara, tetapi minim riset.

Padahal, sejarah menunjukkan bahwa peran dominan mahasiswa selalu lahir dari pertemuan antara keberanian dan kedalaman intelektual. Reformasi tidak hanya digerakkan oleh amarah, tetapi oleh kesadaran kolektif yang dibangun melalui diskusi, bacaan, dan refleksi panjang. Ketika satu elemen hilang, peran mahasiswa mudah direduksi menjadi sekadar keramaian.

Dominasi mahasiswa hari ini juga menghadapi tantangan generasional. Tekanan ekonomi, ketidakpastian kerja, dan budaya kompetisi membuat banyak mahasiswa berada dalam dilema. Di satu sisi dituntut idealis, di sisi lain dipaksa realistis. Aktivisme sering dianggap kemewahan, sementara bertahan hidup menjadi prioritas. Ini konteks yang harus dipahami, bukan dihakimi.

Namun memahami bukan berarti membenarkan. Justru di sinilah pentingnya redefinisi peran. Mahasiswa tidak harus selalu berada di jalanan, tetapi harus tetap berpihak. Tidak semua harus menjadi aktivis, tetapi semua harus memiliki kesadaran kritis. Dominasi sejati bukan soal seberapa sering tampil, melainkan seberapa kuat mempengaruhi arah perubahan.

Wajah mahasiswa hari ini seharusnya tidak berhenti pada ekspresi, tetapi bergerak menuju konsistensi. Isu yang diangkat harus diikuti kerja pengetahuan. Kritik yang disuarakan harus disertai alternatif. Keberanian harus bertemu tanggung jawab. Tanpa itu, dominasi mahasiswa hanya akan menjadi kebisingan sesaat.

Mahasiswa tetap memiliki posisi strategis dalam struktur sosial Indonesia. Akses pada ilmu, ruang berpikir, dan jaringan membuat mereka berada di simpul penting perubahan. Pertanyaannya tinggal satu: apakah dominasi itu akan digunakan untuk memperjuangkan kepentingan publik, atau sekadar mengukuhkan posisi personal?

Wajah mahasiswa hari ini sedang berada di persimpangan. Ia bisa menjadi kekuatan transformatif yang matang, atau sekadar aktor ramai yang mudah dilupakan. Pilihan itu tidak ditentukan oleh sistem semata, tetapi oleh keberanian mahasiswa sendiri untuk kembali bertanya: untuk apa pengetahuan ini, dan kepada siapa ia diabdikan?

***

*) Oleh : Baihaqie, Kader HMI dan Mahasiswa Hukum Universitas PGRI Kanjuruhan Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.