https://malang.times.co.id/
Opini

Penelitian yang Jauh dari Peradaban

Sabtu, 20 Desember 2025 - 22:38
Penelitian yang Jauh dari Peradaban Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.

TIMES MALANG, MALANG – Di negeri ini, penelitian tumbuh subur dalam angka, tetapi kerap mandek dalam makna. Setiap tahun ribuan judul riset diproduksi, jurnal terbit rutin, seminar akademik digelar nyaris tanpa jeda. Namun di balik produktivitas itu, muncul satu pertanyaan mendasar: mengapa penelitian kita jarang benar-benar mengubah peradaban? Mengapa ia lebih sering berhenti sebagai laporan, bukan lompatan?

Penelitian seharusnya menjadi jantung kemajuan. Dari sanalah kebijakan lahir, teknologi berkembang, dan peradaban bergerak. Namun yang terjadi justru sebaliknya: penelitian terjebak pada rutinitas administratif. Ia dikejar bukan karena daya dorongnya bagi masyarakat, melainkan karena kewajiban angka kredit, syarat kenaikan jabatan, atau laporan pertanggungjawaban anggaran. Riset menjadi kewajiban birokratis, bukan proses intelektual.

Kita menyaksikan betapa riset kerap diposisikan sebagai “produk akhir”, bukan awal perubahan. Laporan disusun rapi, metodologi lengkap, tabel dan grafik terpenuhi, lalu disimpan di rak digital atau fisik. Setelah itu selesai. Tidak ada dialog lanjutan, tidak ada keberlanjutan kebijakan, apalagi keberpihakan pada problem nyata masyarakat. Penelitian pun berubah menjadi arsip.

Masalahnya bukan pada kurangnya peneliti, melainkan pada ekosistem yang keliru. Banyak riset lahir dari ruang-ruang tertutup, jauh dari denyut sosial. Topik ditentukan oleh skema pendanaan, bukan oleh urgensi publik. Bahasa riset pun sering kali eksklusif, hanya dimengerti oleh sesama akademisi. Akibatnya, penelitian gagal menjadi jembatan antara ilmu dan kehidupan.

Lebih ironis lagi, hasil penelitian sering tidak dibaca oleh pengambil kebijakan. Rekomendasi kebijakan dalam laporan riset hanya menjadi paragraf pelengkap, bukan rujukan strategis. Negara lebih sibuk dengan keputusan jangka pendek ketimbang refleksi berbasis data dan kajian. Riset dipuja di mimbar akademik, tetapi diabaikan di ruang kekuasaan.

Di sisi lain, peneliti pun tidak sepenuhnya bebas dari kritik. Ada kecenderungan menjadikan penelitian sebagai sarana aman untuk bertahan di sistem, bukan untuk menggugatnya. Kritik dibungkus hati-hati, rekomendasi dibuat normatif, dan keberanian intelektual kerap dikalahkan oleh kekhawatiran administratif. Penelitian akhirnya jinak, tidak mengusik, dan tidak mengguncang.

Padahal, sejarah peradaban menunjukkan bahwa riset yang besar lahir dari kegelisahan, keberanian, dan keberpihakan. Ilmu tidak pernah netral sepenuhnya; ia selalu berpihak pada nilai. Ketika penelitian kehilangan keberpihakan pada keadilan, kemanusiaan, dan masa depan, ia akan kehilangan daya ubahnya. Ia hanya menjadi statistik yang dingin.

Kondisi ini diperparah oleh budaya publikasi yang berorientasi kuantitas. Indeks, peringkat, dan sitasi menjadi tujuan utama. Bukan lagi pertanyaan “apa dampak penelitian ini?”, melainkan “di jurnal mana ia terbit?”. Akibatnya, riset diarahkan agar lolos seleksi jurnal, bukan agar menjawab persoalan masyarakat. Peradaban kalah oleh algoritma akademik.

Penelitian yang tidak melahirkan peradaban juga mencerminkan jurang antara kampus dan realitas. Kampus sibuk memproduksi pengetahuan, tetapi enggan turun ke lumpur persoalan. Masyarakat dihadirkan sebagai objek, bukan subjek. Mereka diteliti, diwawancarai, difoto, lalu ditinggalkan tanpa perubahan berarti. Ini bukan sekadar kegagalan metodologis, tetapi kegagalan etis.

Jika dibiarkan, kondisi ini akan melahirkan generasi akademisi yang terampil menulis, tetapi tumpul membaca zaman. Ilmu berkembang, tetapi kehidupan tidak bergerak. Negara memiliki banyak peneliti, tetapi miskin gagasan transformatif. Peradaban pun berjalan tanpa kompas intelektual.

Maka yang dibutuhkan bukan sekadar lebih banyak penelitian, melainkan penelitian yang berani. Berani keluar dari zona aman akademik, berani berhadapan dengan kepentingan, dan berani menjadikan masyarakat sebagai mitra pengetahuan. Penelitian harus kembali pada fungsinya sebagai alat pembebasan, bukan sekadar instrumen evaluasi.

Negara pun perlu mengubah cara memandang riset. Penelitian bukan pelengkap anggaran, melainkan investasi peradaban. Hasil riset harus diintegrasikan dalam kebijakan, diuji di lapangan, dan dievaluasi secara terbuka. Tanpa itu, riset akan terus berputar di ruang akademik yang sempit.

Peradaban tidak dibangun oleh banyaknya laporan penelitian, melainkan oleh keberanian menjadikan ilmu sebagai tindakan. Selama penelitian masih takut menggugat, masih nyaman menjadi formalitas, dan masih jauh dari denyut masyarakat, maka ia akan terus ada tetapi tidak pernah benar-benar hidup.

***

*) Oleh : Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.