TIMES MALANG, MALANG – Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional, peringatan ini selalu menjadi momentum penting bagi jutaan pekerja untuk menyuarakan aspirasi, keluhan, dan tuntutan mereka terhadap pemerintah dan pengusaha. Tahun 2025 tidak terkecuali.
Di tengah semboyan “Indonesia Emas 2045” yang terus di kumandangkan pemerintah, para buruh justru masih berjuang agar sekadar bisa hidup layak. Ini bukan sekadar soal upah, tetapi soal martabat, perlindungan, dan keadilan sosial yang masih jauh dari apa yang di harapan.
Pemerintah sering kali mengklaim bahwa berbagai kebijakan sudah berpihak kepada pekerja. Namun realitas di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Banyak buruh, terutama di sektor informal dan padat karya, masih menerima upah di bawah standar hidup layak.
Padahal Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 2 dengan tegas menyatakan bahwa tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sayang seribu sayang cita-cita itu terasa semakin kabur dengan diberlakukannya berbagai regulasi yang justru menggerus hak-hak pekerja.
Salah satu kebijakan yang masih menuai kritik tajam hingga hari ini adalah UU Cipta Kerja. Meski Mahkamah Konstitusi sempat menyatakan bahwa UU tersebut inkonstitusional bersyarat, pemerintah tetap melanjutkan penerapannya dengan dalih untuk menarik investasi.
Akibatnya, posisi buruh semakin lemah dalam hubungan industrial. Fleksibilitas ketenaga kerjaan yang ditawarkan UU tersebut malah menjadi celah bagi pengusaha untuk menghindari kewajiban mereka terhadap buruh.
Bukan hanya itu, upah minimum yang ditetapkan melalui formula baru yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 dinilai justru mempersulit buruh untuk mendapatkan kenaikan upah yang wajar. Pemerintah berdalih bahwa penyesuaian upah harus mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Namun realitanya, formula tersebut lebih menguntungkan pengusaha dan mengabaikan fakta bahwa kebutuhan hidup terus meningkat. Ketika harga kebutuhan pokok, biaya pendidikan, dan kesehatan naik, buruh justru dipaksa bertahan dengan kenaikan upah yang minim.
Pemerintah juga belum mampu memberikan perlindungan yang memadai bagi buruh migran, buruh perempuan, serta pekerja di sektor informal. Masih banyak kasus kekerasan, pelecehan, hingga eksploitasi yang tidak ditangani secara serius.
Program jaminan sosial pun belum menyentuh seluruh pekerja, terutama mereka yang bekerja di luar sistem formal. Hal ini menunjukkan bahwa negara belum hadir sepenuhnya dalam menjamin kesejahteraan seluruh rakyatnya.
Sudah saatnya pemerintah berhenti melihat buruh hanya sebagai angka statistik atau beban ekonomi. Buruh adalah fondasi dari roda pembangunan nasional. Tanpa mereka, mesin pabrik tak akan berputar, pelayanan publik tidak berjalan, dan konsumsi domestik akan lumpuh.
Pemerintah harus mengubah paradigma pembangunan yang terlalu pro kepada pemodal menjadi lebih berimbang, yakni dengan memperkuat perlindungan tenaga kerja sebagai bagian dari strategi pembangunan jangka panjang.
Momentum Hari Buruh 2025 seharusnya dijadikan refleksi bersama. Para pemangku kebijakan perlu turun langsung mendengar suara buruh, bukan hanya menggelar seremoni simbolik.
Reformasi ketenagakerjaan yang berpihak pada keadilan harus segera diwujudkan, termasuk mencabut pasal-pasal bermasalah dalam UU Cipta Kerja, memperkuat pengawasan ketenagakerjaan, serta memastikan jaminan sosial dan perlindungan hukum bagi seluruh pekerja.
Buruh Indonesia bukan sekadar tenaga kerja murah. Mereka adalah warga negara yang punya hak untuk hidup sejahtera dan bermartabat. Pemerintah punya tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak itu. Tanpa keadilan bagi buruh, Visi Indonesia Emas 2045 akan menjadi hayalan yang dibangun di atas penderitaan jutaan pekerja. (*)
***
*) Oleh : Moh. Farhan Aziz, S.AP., Anggota bidang 2 PC PMII Kota Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |