https://malang.times.co.id/
Opini

Hakim yang Lumpuh oleh Angka

Kamis, 25 Desember 2025 - 23:11
Hakim yang Lumpuh oleh Angka Muhammad Nafis, S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

TIMES MALANG, MALANG – Hukum seharusnya berjalan tegak, tetapi hari ini ia sering terseok. Bukan karena kekurangan pasal, melainkan karena kelebihan angka. Angka yang diselipkan dalam amplop, dibisikkkan dalam ruang sunyi, lalu menjelma menjadi penentu arah putusan. Di titik inilah hakim penjaga terakhir keadilan tampak lumpuh. Bukan lumpuh fisik, melainkan lumpuh nurani.

Pengadilan dibangun sebagai rumah kebenaran. Palu hakim adalah simbol ketegasan akal dan kebeningan hati. Namun ketika nilai perkara ditimbang dengan kalkulator, bukan dengan keadilan, palu itu kehilangan gema. Ia hanya memantul di dinding formalitas, mengesahkan kesepakatan yang lahir bukan dari hukum, melainkan dari transaksi.

Fenomena “tawaran penyelesaian perkara” dengan bahasa angka bukan rahasia. Ia beredar seperti kabut: tak selalu terlihat, tetapi terasa. Proses hukum direduksi menjadi negosiasi; putusan menjadi produk; keadilan menjadi komoditas. Dalam pasar gelap ini, yang kuat berbelanja harapan, yang lemah menanggung kekalahan sebelum sidang dimulai.

Hakim, dalam bayangan ideal, berdiri di atas semua kepentingan. Ia mendengar dengan sabar, menimbang dengan jernih, memutus dengan adil. Namun ketika angka menyelinap ke ruang batin, keteguhan itu retak. Hukum yang seharusnya menjadi pedang kebenaran berubah menjadi timbangan yang miring berat ke satu sisi, ringan ke sisi lain.

Lumpuhnya hakim oleh angka tidak selalu hadir dalam bentuk terang-terangan. Ia sering berwajah halus: “mediasi”, “jalan tengah”, “win-win solution”. Kata-kata ini indah, tetapi bisa menjadi tirai. Mediasi yang sejati berangkat dari kesukarelaan dan keadilan; mediasi yang tercemar berangkat dari tekanan dan transaksi. Di situlah keadilan dikunci, lalu kuncinya dijual.

Akibatnya, pencari keadilan terperangkap dalam labirin. Mereka yang datang dengan keyakinan pada bukti dan argumentasi mendapati pintu-pintu tertutup. Yang terbuka justru pintu belakang bagi mereka yang membawa angka. Peradilan lalu menjadi uji ketahanan ekonomi, bukan uji kebenaran. Waktu memihak yang berduit; hukum menunggu yang mampu membayar.

Lebih berbahaya lagi, praktik ini membunuh kepercayaan publik. Kepercayaan adalah oksigen peradilan. Tanpanya, putusan yang benar pun akan dicurigai. Ketika masyarakat percaya bahwa angka lebih berpengaruh daripada dalil, hukum kehilangan wibawa. Ia tetap berdiri sebagai institusi, tetapi runtuh sebagai harapan.

Sebagian akan berkilah: sistem yang rumit memaksa jalan pintas; beban perkara menumpuk; kesejahteraan aparat belum memadai. Dalih-dalih ini mungkin menjelaskan, tetapi tidak membenarkan. Keadilan tidak boleh dikompromikan oleh keadaan. Justru di tengah tekananlah integritas diuji. Hakim bukan sekadar profesi; ia amanah.

Lumpuh oleh angka juga menandai krisis etika. Ketika standar benar-salah diganti dengan untung-rugi, nurani dipinggirkan. Pendidikan hukum yang kaya teori tetapi miskin teladan turut menyumbang masalah. Integritas tidak cukup diajarkan; ia harus dihidupi. Tanpa pembinaan moral yang konsisten, sumpah jabatan menjadi kalimat kosong.

Perlu pembenahan yang berani. Transparansi proses, pengawasan independen, dan sanksi tegas bukan pilihan, melainkan keharusan. Teknologi dapat membantu, tetapi tidak cukup tanpa keberanian manusia. Yang paling penting adalah membangun budaya kehormatan: menjadikan integritas sebagai mata uang tertinggi. Hakim yang berani menolak angka harus dilindungi dan dimuliakan, bukan diasingkan.

Di sisi lain, masyarakat juga perlu berhenti memelihara pasar ini. Setiap amplop yang ditawarkan adalah suara yang melemahkan hukum. Setiap kesepakatan gelap adalah luka yang diwariskan. Keadilan tidak bisa dibeli tanpa mengorbankan masa depan bersama. Jika kita ingin peradilan yang bersih, kita harus berhenti menormalisasi jalan pintas.

Hukum akan kembali tegak hanya jika hakim berdiri di atas nurani, bukan angka. Palu harus kembali berbunyi karena kebenaran, bukan karena transaksi. Tanpa itu, pengadilan hanya akan menjadi teater prosedur lengkap, rapi, dan kehilangan jiwa.

Keadilan menuntut keberanian. Keberanian untuk berkata tidak pada angka, ya pada nurani. Di sanalah hakim menemukan kembali langkahnya tidak lumpuh, tidak goyah dan hukum kembali bernapas sebagai janji yang ditepati.

***

*) Oleh : Muhammad Nafis, S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.