https://malang.times.co.id/
Opini

Koperasi Merah Putih dan Janji yang Tertahan

Kamis, 25 Desember 2025 - 22:29
Koperasi Merah Putih dan Janji yang Tertahan Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.

TIMES MALANG, MALANG – Koperasi Merah Putih digagas sebagai jalan pulang ekonomi rakyat. Ia diumumkan dengan nada optimistis, dielu-elukan sebagai lokomotif kemandirian desa, bahkan diproyeksikan menjangkau wilayah kepulauan yang selama ini terpinggirkan dari arus utama pembangunan. Namun hingga detik ini, gema itu lebih sering terdengar sebagai gaung kosong. 

Di banyak desa kepulauan, koperasi itu belum menjejakkan kaki. Di perkotaan pun kehadirannya belum merata, tersendat oleh pengelolaan yang rapuh dan permodalan yang tersumbat. Janji berjalan lebih cepat daripada realisasi.

Negara, sebagai pengusul program, seharusnya menjadi nakhoda. Tetapi kapal Koperasi Merah Putih tampak berlayar tanpa kompas yang jelas. Di atas kertas, konsepnya indah: koperasi sebagai soko guru ekonomi, dikelola profesional, berjejaring, dan berpihak pada rakyat kecil. 

Di lapangan, realitasnya berliku. Banyak daerah kebingungan memulai dari regulasi turunan yang lambat, pendampingan yang setengah hati, hingga skema pembiayaan yang tak kunjung cair.

Di wilayah kepulauan, persoalannya berlapis seperti ombak yang tak pernah sama. Akses menjadi kata kunci yang sering dilupakan. Transportasi mahal, pasar terbatas, dan infrastruktur digital belum merata. 

Dalam kondisi seperti itu, koperasi bukan sekadar badan usaha; ia harus menjadi simpul logistik, pembiayaan, sekaligus penguat jejaring. Sayangnya, program datang seperti peta kota yang dipaksakan untuk dibaca di laut lepas tidak sepenuhnya salah, tetapi jelas tidak cukup.

Di perkotaan, masalahnya bergeser namun tetap substansial. Koperasi Merah Putih hadir di sebagian tempat, tetapi pengelolaannya kerap belum siap. SDM terbatas, tata kelola lemah, dan literasi keuangan belum mengakar. Koperasi akhirnya berdiri sebagai papan nama ada secara administratif, tiada secara fungsional. Ia hidup di laporan, mati di pasar.

Permodalan menjadi simpul kusut yang paling sering dikeluhkan. Negara menjanjikan dukungan, tetapi mekanismenya kerap berbelit. Syarat administratif menumpuk, verifikasi berlarut, dan kepastian waktu tak jelas. Bagi koperasi yang baru lahir, keterlambatan modal ibarat bayi yang ditunda susunya pertumbuhan terhambat sejak awal. Tanpa modal kerja yang cukup, koperasi sulit bergerak, apalagi bersaing.

Lebih dari itu, problem desain kebijakan patut dikritisi. Koperasi Merah Putih seolah diseragamkan, padahal Indonesia adalah mozaik. Desa kepulauan tidak bisa diperlakukan sama dengan desa agraris; kota pesisir berbeda dengan kota industri. Kebijakan yang satu ukuran untuk semua hanya akan melahirkan kepatuhan semu, bukan keberdayaan nyata. Koperasi membutuhkan fleksibilitas, bukan sekadar kepatuhan prosedural.

Pendampingan menjadi kata lain yang kehilangan makna. Banyak koperasi dibiarkan belajar sendiri, jatuh bangun tanpa mentor yang konsisten. Pelatihan hadir sekali-dua kali, lalu menghilang. Padahal koperasi bukan lomba sprint; ia maraton. Tanpa pendampingan berkelanjutan manajemen, pemasaran, digitalisasi, dan tata kelola koperasi mudah lelah sebelum menemukan ritme.

Di sisi lain, budaya birokrasi yang kerap mengutamakan seremonial turut menyumbang kebuntuan. Peresmian digelar, spanduk dibentang, foto diunggah. Tetapi setelah itu, sunyi. Koperasi dibiarkan berjuang sendiri menghadapi pasar yang keras. Negara tampak hadir di awal, lalu menghilang di tengah jalan. Padahal peran negara seharusnya konsisten: mengawal, mengevaluasi, dan memperbaiki.

Kritik ini bukan penolakan terhadap Koperasi Merah Putih. Sebaliknya, ia lahir dari keyakinan bahwa koperasi masih relevan bahkan mendesak di tengah ketimpangan ekonomi. Namun relevansi itu hanya akan nyata jika negara berani memperbaiki cara. 

Pertama, percepat regulasi turunan yang jelas dan operasional. Kedua, sediakan skema permodalan yang cepat, transparan, dan adaptif terhadap karakter wilayah. Ketiga, bangun pendampingan profesional yang berkelanjutan, bukan seremonial.

Keempat, berikan ruang inovasi lokal. Biarkan koperasi di kepulauan menemukan modelnya sendiri menggabungkan logistik, perikanan, pariwisata, dan perdagangan digital tanpa dibelenggu format kaku. Kelima, ukur keberhasilan bukan dari jumlah koperasi berdiri, melainkan dari dampak: anggota sejahtera, usaha tumbuh, dan pasar terbuka.

Jika tidak, Koperasi Merah Putih akan tinggal nama merah di logo, putih di kertas, tetapi pucat di lapangan. Ia akan menjadi janji yang tertahan, terjebak antara niat baik dan eksekusi yang setengah matang. Rakyat, sekali lagi, menunggu.

Ekonomi kerakyatan tidak lahir dari jargon, melainkan dari keberanian membenahi detail. Koperasi membutuhkan waktu, kesabaran, dan konsistensi negara sebagai pengusul program. 

Tanpa itu, koperasi hanya akan menjadi cerita yang indah untuk pidato, namun tak pernah benar-benar bekerja di kehidupan. Dan di negeri kepulauan, janji yang tertunda selalu terasa lebih jauh sejauh laut yang memisahkan harapan dari kenyataan.

***

*) Oleh : Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.