TIMES MALANG, TANGERANG – Hari Pers Nasional (HPN) 2025 bertemakan "Pers Mengawal Ketahanan Pangan untuk Kemandirian Bangsa", menegaskan peran media dalam membangun sistem pangan yang berkelanjutan. Sebagai pilar keempat demokrasi, pers tak hanya penyampai berita, tapi sebagai alat kontrol sosial dan advokasi publik.
Walau, di tengah dinamika politik dan kepentingan bisnis, mampukah media tetap independen dan kritis dalam mengawal kebijakan pangan yang berpihak pada rakyat?
Pers adalah jembatan utama antara pemerintah dan masyarakat dalam menyampaikan kebijakan publik. Di era digital kini, media punya jangkauan luas dan kecepatan tinggi dalam menyebar informasi, termasuk kebijakan seperti ketahanan pangan.
Daripada itu, media juga fungsinya sebagai alat edukasi yang membantu masyarakat memahami isu seperti diversifikasi pangan, teknologi pertanian, dan keberlanjutan lingkungan.
Selain sebagai penyampai informasi, pers bertanggung jawab mengawasi kebijakan. Dari berita yang kritis dan berbasis data, media memastikan kebijakan berjalan sesuai tujuan dan mencegah penyimpangan.
Maraknya hoaks dan misinformasi, pers profesional peranannya sebagai penjaga kebenaran dengan menghadirkan berita faktual dan berimbang.
Pemerintah gencar meluaskan akses internet dengan program seperti Palapa Ring dan SATRIA-1, tapi kesenjangan digital tetap tinggi, terlebih di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Target 36.830 lokasi berinternet pada 2025 pun menghadapi problem seperti geografi sulit dan biaya tinggi.
Jika kebijakan publik makin bergantung pada media digital, bagaimana dengan masyarakat di daerah tanpa internet? Tanpa solusi, jurang informasi justru semakin dalam.
Meski internet semakin pesat, literasi digital di Indonesia masih lemah. Indeks literasi digital Indonesia hanya 3,54 dari 5 pada 2022, bukti banyak masyarakat belum mampu memilah informasi valid dari hoaks.
Konsekuensinya, kebijakan publik sering terhambat oleh disinformasi. Jika kondisi ini terus dibiarkan, kebijakan yang baik sulit diterima, sementara demokrasi makin rapuh.
Di era digital, banjir informasi membuat sulit bagi banyak orang membedakan kebenaran. Sosialisasi kebijakan sering terselip dalam pesan instan dan notifikasi media sosial.
Jika strategi komunikasi tidak jelas, informasi penting bisa terlewat atau disalahpahami. Jika pemerintah dan media tak beradaptasi, kebijakan yang baik bisa jadi wacana tanpa hasilnya.
Pers sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi, sejajar dengan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Perannya vital dalam menjaga transparansi dan memastikan pemerintah bertanggung jawab.
Kendati, kebebasan pers yang dijamin oleh UU Nomor 40 Tahun 1999 kini menghadapi aral seperti intervensi politik dan tekanan ekonomi. Jika kebebasan pers terus tergerus, demokrasi berisiko kehilangan salah satu penyangganya.
Sering kali, sosialisasi kebijakan cuma berfokus pada pemberitahuan setelah kebijakan dibuat. Padahal, komunikasi kebijakan yang melibatkan masyarakat sejak awal lebih efektif. Pendekatan tersebut memastikan bahwa masyarakat tak sekadar menerima informasi, tapi menjadi mitra dalam proses perumusan kebijakan.
Media sosial menjadi alat utama pemerintah untuk menyebarkan informasi kebijakan dengan cepat. Setidaknya, penggunaannya mesti bijak. Informasi mesti akurat, transparan, dan bebas bias. Konten juga disesuaikan dengan audiensnya, misalnya generasi milenial lebih aktif di Instagram dan TikTok, sehingga infografis dan video pendek lebih efektif.
Pemilu 2024 silam jadi peristiwa dalam demokrasi Indonesia, tapi hasilnya belum tentu menjamin demokrasi yang sehat. Masalah oligarki, ketidakadilan sosial, dan lemahnya integritas politik masih jadi ancaman. Dominasi elite ekonomi dan politik dalam kebijakan publik semakin menguat, pasalnya kesenjangan sosial membuat masyarakat rentan pada politik uang.
Pers memegang peran dalam menjaga kesehatan demokrasi. Dengan menyediakan informasi yang akurat dan berimbang, media membantu masyarakat memahami isu kebijakan dan proses politik.
Selain itu, pers juga berfungsi sebagai pengawas kebijakan negara melalui liputan investigatif untuk mengungkap praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Pasca-Pemilu 2024, demokrasi Indonesia menghadapi ancaman. Namun, peran aktif pers sebagai pengawas kekuasaan memberi harapan untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas. Kolaborasi antar pemerintah, masyarakat, dan media menjadi tonggak.
Reformasi kelembagaan dan peningkatan literasi politik mesti menjadi prioritas agar demokrasi benar-benar mewakili kepentingan seluruh rakyat.
***
*) Oleh : Heru Wahyudi, Dosen di Prodi Administrasi Negara Universitas Pamulang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |