TIMES MALANG, JAKARTA – Baru saja kita dihebohkan dengan mundurnya Hasan Nasbi sebagai Kepala Kantor Komunikasi Presiden. Publik pun banyak menduga, mundurnya Nasbi tidak terlepas dari pernyataan kontroversinya ketika menanggapi isu teror kepala babi yang ditujukan pada jurnalis Tempo beberapa waktu silam.
Kala itu, dirinya menanggapi teror kepala babi dengan guyonan ‘Masak saja babinya’. Sontak pernyatan tersebut pun mendapatkan kecaman dari publik.
Sebelumnya, Nasbi juga sempat mengeluarkan statement kontroversi ketika menanggapi protes terhadap RUU TNI yang dilakukan oleh masyarakat sipil. Lewat unggahan di media sosisal X miliknya, dirinya membuat cuitan yang menuding bahwa terdapat provokasi dan cuitan bohong soal revisi UU TNI tersebut.
Oleh sebab beberapa pernyataan kontroversi yang dikeluarkan dirinya, publik pun bertanya, bagaimanakah kredibilitas dari posisi Nasbi sebagai Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan?
Pejabat negara, dalam hal ini yang seyoginya memberikan ketenangan, justru memperkeruh suasana. Terlebih, dengan posisinya sebagai Kepala Komunikasi Kepresidenan, semestinya menanggapi isu-isu kenegaraan dengan gaya komunikasi yang lebih elok.
Desas-desus pun berhembus soal ditariknya fungsi komunikasi kepresidenan yang semula dipegang oleh Kantor Komunikasi Kepresidenan kini berada di Menteri Sekretaris Negara. Lantas dengan demikian, apakah Kantor Komunikasi Kepresidenan masih diperlukan?
Sekilas Soal Kantor Komunikasi Kepresidenan
Kantor Komunikasi Kepresidenan dibentuk melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2024. Dalam Perpres tersebut, Kantor Komunikasi Kepresidenan dibentuk dengan memegang fungsi pengelolaan komunikasi Presiden, utamanya berkaitan dengan program-program strategis kepresidenan.
Secara fungsi, keberadaan Kantor Komunikasi Kepresidenan seharusnya dapat mengolah dan menyampaikan informasi yang sinergis dari lingkup ring satu pemerintahan.
Tak hanya itu, keberadaan lembaga tersebut selain bertugas guna menyampaikan informasi, juga dapat menjadi garda terdepan pengatur komunikasi kepada publik mengenai kebijakan apa yang telah, sedang maupun akan diambil oleh pemerintah?
Singkatnya, Kantor Komunikasi Kepresidenan bukanlah pendengung, melainkan penyampai perihal kebijakan pemerintah kepada hal layak luas.
Tentu saja, jabatan Kantor Kepala Kepresidenan sudah semestinya dijabat oleh orang yang ahli dan berpengalaman di bidang komunikasi ataupun kebijakan publik. Jangan sampai orang yang diberi jabatan karena berkontribusi dalam kontestasi pemilu.
Pasca Mundurnya Nasbi
Sebelum mundurnya Nasbi sebagai Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan pun, praktis komunikasi kepresidenan dipegang oleh Prasetyo Hadi sebagai Menteri Sekretaris Negara, Angga Raka Prabowo sebagai Wakil Menteri Komunikasi dan Digitalisasi, dan Juri Ardiantoro sebagai Wakil Menteri Sekretaris Negara.
Dalam hal ini, terdapat dua hal yang sejatinya dapat kita kritisi: Pertama, nampaknya kita masih perlu untuk meninjau kembali ketentuan Perpres 82 Tahun 2024. Perpres tersebut mengatur tugas, fungsi, dan wewenang dari Kantor Komunikasi Kepresidenan yakni pengelolaan komunikasi Presiden, utamanya berkaitan dengan program-program strategis kepresidenan.
Dari sini, dapat kita refleksikan, apakah selama ini Kantor Komunikasi Kepresidenan sudah benar-benar menjalankan tugasnya untuk menjadi juru bicara kepresidenan khususnya dalam menanggapi isu pada program strategis kepresidenan?
Pertanyaan kedua yang perlu kita jawab ialah apakah jika fungsi juru bicara kepresidenan ditarik ke lembaga lain terdapat ada aturan yang mengaturnya?
Sebagai negara yang telah berkomitmen menjadi negara hukum, sudah seyogianya segala tindakan pemerintahan dilakukan dan dibatasi oleh hukum. Termasuk pula pada kewenangan dari sebuah lembaga pemerintah, terlebih dalam hal komunikasi kepresidenan yang sangat vital dalam membantu menjalankan tugas Presiden sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan.
Apabila pejabat negara menjalankan tugas di luar pada kewenangannya, maka hal demikian termasuk sebagai tindakan tanpa kewenangan (unlawful authority). Hal demikian bukan sekadar pada aspek prosedural, melainkan pada aspek legalitas dari tindakan tersebut.
Sejatinya, tindakan pembagian kekuasaan untuk menjalankan fungsi komunikasi kepresidenan yang disebar ke beberapa lebaga ataupun pejabat sah-sah saja. Hal demikian merupakan bagian dari kekuasaan Presiden yang telah diatur oleh Pasal 4 Ayat (1) UUD NRI 1945.
Kendati begitu, perlu adanya aturan yang jelas mengenai pembagian tersebut. Jangan sampai pembagian kekuasaan tersebut hanya dilakukan atas dasar suka-suka.
Jika begitu, apakah status sebagai negara hukum perlu kita tinjau kembali?
***
*) Oleh : Nur Fauzi Ramadhan, S.H., Co-Founder dan Direktur Desk Polhukam Asah Kebijakan Indonesia.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |