https://malang.times.co.id/
Opini

Hardiknas 2025: Mari Mendidik dengan Empati, Bukan Komando

Jumat, 02 Mei 2025 - 15:33
Hardiknas 2025: Mari Mendidik dengan Empati, Bukan Komando Ade Herdian Putra, Dosen Departemen Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Padang

TIMES MALANG, PADANG – Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia merayakan Hari Pendidikan Nasional. Ini adalah momentum reflektif, saat kita menengok sejenak ke belakang dan bertanya: sudah sejauh mana kita melangkah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa? 

Kemajuan dalam bidang pendidikan di Indonesia dewasa ini memang patut diapresiasi. Kita menyaksikan percepatan luar biasa dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Digitalisasi pendidikan terus tumbuh, akses terhadap pendidikan merata hingga pelosok, dan infrastruktur sekolah pun mengalami peningkatan signifikan.

Namun di tengah sorotan terang kemajuan itu, masih tampak bayang-bayang masalah klasik yang belum tuntas. Salah satu yang cukup mengusik perhatian saya sebagai seorang pendidik adalah pendekatan yang digunakan dalam menangani perilaku menyimpang atau malasuai dari peserta didik, terutama yang berada pada masa remaja.

Beberapa waktu terakhir, muncul praktik kontroversial: siswa-siswa yang dianggap "nakal" dikirim ke barak militer untuk "dibina." Sekilas, pendekatan ini tampak solutif, tegas, dan disipliner. Namun jika kita telaah lebih dalam dari perspektif perkembangan psikologis dan pendidikan, langkah ini justru berpotensi memunculkan persoalan baru yang lebih kompleks.

Remaja bukanlah miniatur orang dewasa. Masa remaja adalah periode krusial dalam pembentukan identitas diri. Mereka berada dalam tahap mencari jati diri, mempertanyakan nilai-nilai sosial, dan mencoba berbagai perilaku untuk memahami batas-batasnya. 

Ketika perilaku malasuai yang muncul-entah karena pengaruh lingkungan, krisis keluarga, atau pencarian identitas-ditanggapi dengan pendekatan militeristik, maka yang tercipta bukan perubahan perilaku yang mendasar, melainkan kedok disiplin semu.

Tidak sedikit kasus yang menunjukkan bahwa siswa yang pernah “dibina” di barak militer justru merasa bangga atas pengalaman tersebut. Mereka menjadikannya sebagai simbol ketangguhan, bahkan menjual kisah itu sebagai identitas baru: “Saya pernah dididik militer karena kenakalan saya.” 

Fenomena ini mirip dengan apa yang terjadi pada mantan narapidana remaja yang ketika keluar dari penjara justru merasa lebih dihormati atau ditakuti karena status tersebut. Ini jelas kontraproduktif terhadap tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu mengembangkan potensi manusia secara utuh, baik aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor.

Sudah saatnya kita kembali pada nilai-nilai hakiki pendidikan yang menempatkan pendekatan humanistik sebagai pondasinya. Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Oleh karena itu, pendekatan terbaik dalam menangani perilaku malasuai bukanlah dengan menakut-nakuti, tetapi dengan memahami akar masalahnya dan membimbing mereka menuju perubahan positif.

Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, konselor diakui sebagai pendidik. Sayangnya, fungsi strategis konselor di sekolah seringkali diabaikan atau tidak dimaksimalkan. Padahal, konselor dibekali pengetahuan, keterampilan, dan etika profesional untuk menangani masalah perilaku siswa secara komprehensif dan berkelanjutan. 

Konselor bukan hanya tempat “curhat,” tetapi agen perubahan yang mampu membantu siswa merefleksi diri, mengembangkan kontrol diri, dan merancang tujuan hidup yang positif.

Pemerintah, khususnya para pemangku kebijakan pendidikan, perlu mengevaluasi pendekatan represif yang masih digunakan dalam menangani siswa bermasalah. Jika kita benar-benar ingin membentuk generasi yang kuat secara karakter dan unggul dalam prestasi, maka kita harus percaya pada proses pendidikan yang bersifat membina, bukan menghukum. 

Biarkan konselor bekerja sebagaimana mestinya. Perkuat peran mereka, libatkan dalam pengambilan keputusan, dan beri ruang untuk menerapkan strategi intervensi yang berbasis kasih sayang, bukan kekerasan simbolik.

Hari Pendidikan Nasional tahun ini harus menjadi titik balik. Titik balik menuju sistem pendidikan yang lebih manusiawi, inklusif, dan berbasis nilai. Kita tidak sedang membangun mesin pekerja, tetapi membentuk pribadi-pribadi tangguh yang sadar akan makna hidup, tanggung jawab sosial, dan kontribusi terhadap bangsa.

Di tengah arus perubahan zaman yang begitu cepat, jangan sampai kita terjebak pada solusi instan yang justru mengabaikan prinsip-prinsip pendidikan sejati. Karena pada akhirnya, mendidik itu bukan soal menaklukkan perilaku, tetapi menumbuhkan harapan. (*)

***

*) Oleh : Ade Herdian Putra, Dosen Departemen Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Padang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

 

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.