https://malang.times.co.id/
Kopi TIMES

Kenaikan PPN 12 Persen dan Ironi Keadilan Pajak

Senin, 23 Desember 2024 - 09:25
Kenaikan PPN 12 Persen dan Ironi Keadilan Pajak Muhammad Taufiq Firdaus, S.H., Ketua Umum DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah D.I.Yogyakarta dan Mahasiswa Magister Ilmu Hukum.

TIMES MALANG, YOGYAKARTA – Menjelang 3 bulan Pemerintah Prabowo Subianto berjalan telah mengeluarkan dua kebijakan yang cukup kontroversial di bidang perpajakan yaitu kebijakan tax amnesty dan kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen. Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada awal tahun 2025 memunculkan diskursus hukum yang menarik, terutama dari perspektif keadilan distributif, legitimasi kebijakan publik, dan keseimbangan beban fiskal. 

Sejatinya, pengaturan kenaikan tarif PPN telah diputuskan sejak tahun 2021 melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada Bab IV tentang Pajak Pertambahan pada Pasal 7. UU yang lahir sebagai respons pandemi Covid-19 ini sudah mengatur kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022 dan 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025. 

Satu hal yang mesti diingat adalah, pengambilan keputusan untuk menaikkan tarif PPN dilandasi dari asumsi negara yang memprediksi situasi pertumbuhan ekonomi nasional pada 3-4 tahun mendatang sudah stabil, namun alih-alih menuju situasi yang baik, pertumbuhan ekonomi nasional justru semakin terpuruk. 

Kenaikan tarif PPN berpotensi melanggengkan rendahnya daya beli masyarakat yang saat ini sudah melemah, bahkan selama 5 tahun terakhir jumlah semakin menyusut. Kondisi ini juga memberikan tekanan bagi kelas menengah yang mengalami turun kasta menjadi miskin akibat dampak kenaikan harga barang kebutuhan pokok yang tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan. 

Menaikkan tarif PPN justru bisa menjadi bumerang bagi pertumbuhan ekonomi di masa Pemerintah saat ini. Tatkala realisasi penerimaan pajak tidak memenuhi target, defisit anggaran juga berpotensi melebar akibat beragam program ambisius yang dilakukan sebagai janji politik, membuat ruang fiskal khususnya APBN tahun 2025 semakin sesak. 

Kenaikan tarif PPN pada saat pemulihan ekonomi setelah pandemi Covid-19 berpotensi memukul masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Efeknya, angka kemiskinan justru kian meningkat dan berujung pada melebarnya kesenjangan ekonomi.

Sifat PPN yang ujungnya dibebankan langsung oleh konsumen akhir, maka tentu berdampak pada naiknya pengeluaran masyarakat. Bagi kelompok miskin, yang sebagian besar pendapatannya sudah dialokasikan untuk kebutuhan pokok, dengan adanya tambahan biaya, juga akan mempengaruhi pemenuhan kebutan primer lainnya seperti pendidikan dan kesehatan, bahkan tidak sedikit, kelompok miskin ini akan menguras habis tabungan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

Akibat kenaikan PPN menjadi 12 persen, kelompok miskin diperkirakan akan mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp 101.880 per bulan atau 1.222.566 per tahun. Kelompok rentan miskin akan mengalami kenaikan pengeluaran Rp 153.871 per bulan atau Rp 1.846.455 per tahun. 

Begitupun juga kelas menengah yang diprediksi mengalami kenaikan pengeluaran Rp 354.293 per bulan atau Rp 4.251.522 per tahun. Dengan demikian, pengaruh kenaikan PPN ini sangat terasa di lapisan paling bawah masyarakat, yang kerap kesulitan menghadapi perubahan harga yang cepat.

Keadilan Pajak dan Masyarakat yang Rentan

Menurut WJ de Langen, pajak pada dasarnya sebagai salah satu sumber pendanaan untuk membiayai jalannya pemerintah, baik  dalam bentuk belanja rutin maupun untuk pembangunan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pajak yang dipungut harus berdasar pada asas manfaat dan kesejahteraan. 

Klaim adanya distribusi keadilan dalam kenaikan tarif PPN menarik untuk ditelusuri lebih dalam, mengingat sifat dari PPN adalah regresif alias memberatkan masyarakat tidak mampu. Resistensi terhadap kenaikan tarif PPN salah satunya karena adanya keadilan pajak yang tercederai. 

Ironisnya ditengah kontroversi kenaikan tarif PPN, pemerintah justru kembali membuka potensi tax amnesty yang akan lebih menguntungkan kelompok pengusaha, konglomerat dengan aset besar yang selama ini menunggak pajak. Hal ini juga diakui oleh Wakil Ketua XI DPR dari Fraksi NasDem Fauzi Amro yang mengamini bahwa kondisi keuangan negara sedang seret dan butuh cash flow (arus kas) untuk bisa mencapai target Astacita Presiden Prabowo.

Dalam teori hukum responsif yang dikemukakan oleh Philipe Nonet dan Philip Selznick menekankan bahwa hukum harusnya melayani kepentingan masyarakat dengan mempertimbangkan konteks, sosial, ekonomi dan aspirasi publik. Dalam konteks kenaikan tarif PPN 12 persen, teori hukum responsif dapat digunakan sekaligus menguji apakah pemerintah melibatkan masyarakat secara luas dalam diskursus kebijakan ini? Transparansi dan partisipasi menjadi kunci dalam menguji legitimasi kebijakan ini. 

Sudut pandang hukum responsif, memandang bahwa harusnya hukum menyeimbangkan kebutuhan fiskal negara dengan perlindungan terhadap kelompok rentan. Seperti halnya John Rawls, dengan pendekatan teori keadilan distributif, bahwa kebijakan pajak harus memperhatikan kelompok rentan dalam masyarakat, sehingga keadilan dapat dirasakan untuk semua.

Dibanding memberikan tekanan bagi masyarakat rentan, Menurut CELIOS sebenarnya pemerintah masih memiliki opsi penerimaan pajak untuk menutup defisit anggaran, seperti mendorong kebijakan pajak yang lebih progresif, seperti pajak karbon untuk mengurangi emisi, pajak kekayaan yang menyasar individu berpenghasilan tinggi, atau pajak windfall komoditas pada keuntungan luar biasa di sektor tertentu seperti industri ekstraktif dan sawit. 

Selain itu juga menutup kebocoran pajak sektor sawit yang berpotensi hingga Rp 300 Trilliun hingga transaksi perusahaan digital lintas negara adalah opsi perpajakan yang bisa didorong untuk menambah pemasukan. Opsi ini jauh lebih terasa adil karena membebani kelompok yang memiliki finansial yang lebih besar, daripada masyarakat rentan yang berjuang dengan penghasilan untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari.

Moratorium PPN dan Pendekatan Legisprudensi

Situasi pertumbuhan ekonomi yang masih lesu, ditambah kondisi masyarakat khususnya lapisan bawah belum sepenuhnya pulih pasca pandemi tidak menyurutkan niat pemerintah untuk memoratorium (menunda) kenaikan tarif PPN pada tahun 2025. Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan tetap mengumumkan untuk menaikkan PPN meski kondisi masyarakat belum sepenuhnya pulih. 

Berbagai kritik dan protes coba dilayangkan publik yang menilai naiknya PPN sebagai tindakan yang tidak etis dan tidak peka terhadap situasi masyarakat. Pemerintah mudah saja berkilah bahwa itu merupakan suatu amanat UU HPP yang telah disahkan sejak tahun 2021, pemerintah dan DPR harusnya mempertimbangkan untuk tidak memaksakan kenaikan tarif PPN. 

Pembentuk hukum mestinya mendengar aspirasi masyarakat sebagai kearifan dan partisipasi sekaligus tidak hanya terjebak pada formalistik-prosedural seperti klaim pemerintah menaikkan tarif PPN atas dasar amanat UUPH. Dalam pendekatan legisprudensi, menegaskan pentingnya realitas pembentukan hukum untuk mempertimbangkan kontek situasinya. 

Meski sudah diputuskan sejak tahun 2021, pembentuk hukum harusnya sadar dan menerima, bahwa asumsi awal mereka untuk menaikkan tarif PPN terbukti keliru dengan kondisi aktual masyarakat hari ini, karena itu kebijakan itu mesti dievaluasi, ditunda bahkan dibatalkan karena menjauhkan hukum dengan realitas sosialnya.

Legisprudensi dicetuskan oleh Wintgens dalam Legisprudence: a New Theoritical Approach to Legislation. Pandangan ini menitikberatkan studi rasionalitas legislasi secara teori dan praktikal yang tidak terpisah dengan realitas masyarakat. Legisprudensi memiliki dua aspek utama, yaitu teorikal dan praktikal. 

Dalam aspek teorikal, teori ini mecoba menghadirkan konsep kedaulatan, relasi antara sistem hukum dan realitas sosial, baik dari sisi yudisial maupun legislatif, maupun melihat kesamaan diantara keduanya. Relasi ini didasarkan pada analisis konsep tentang koherensi suatu sistem hukum. Sementara aspek praktikal dalam pandangan legisprudensi, dengan menekankan adanya elaborasi kriteria faktual dan rasionalitas perundang-undangan. 

Legisprudensi merupakan teori yang dibangun dengan menyesuaikan kekhususan, keragaman, dan kondisi sosial sesuai perkembangan hukum dan masyarakat. Cohen menyebut proses kerja legisprudensi yaitu menekankan pada realitas sosial. Legisprudensi bekerja dalam kerangka asas, realitas hukum, dan legitimasi sosial. Tujuan dari legisprudensi memberikan rasionalisasi dari beragam kepentingan politik guna menentukan pilihan kebijakan yang terbaik dalam membentuk undang-undang. 

Legitimasi politik melalui legislatori bukan menjadi pertimbangan utama dalam pendekatan ini, namun partisipasi dan kearifan yang menjadi obyek utama sebagai kondisi aktual masyarakat memiliki legitimasi yang lebih tinggi sebagai perwujudan demokrasi yang hakiki. Maka melalui pendekatan ini, kenaikan tarif PPN 12 persen tahun 2025 mestinya bisa ditunda bila perlu dibatalkan mengingat kondisi masyarakat belum membaik, dan kenaikan PPN hanya menambah beban fiskal bagi masyarakat. (*)

***

*) Oleh : Muhammad Taufiq Firdaus, S.H., Ketua Umum DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah D.I.Yogyakarta dan Mahasiswa Magister Ilmu Hukum.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.