TIMES MALANG, MALANG – Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia, kerap menjadi cermin dinamika sosial-politik bangsa. Konflik internal, termasuk pergolakan menuju Muktamar Luar Biasa (MLB), merupakan bagian dari tantangan yang dihadapi organisasi sebesar NU. Fenomena ini mencerminkan tidak hanya persoalan internal, tetapi juga pengaruh eksternal yang kerap menyeret NU ke dalam pusaran tarik-menarik kepentingan politik dan ideologi.
Dalam bukunya NU Vis-a-Vis Negara, Andre Feillard menawarkan kerangka analisis yang relevan untuk memahami konflik semacam ini. Feillard menggambarkan NU sebagai entitas yang beroperasi di persimpangan antara tradisi keagamaan, modernitas, dan relasi kompleks dengan negara. Pendekatan ini dapat membantu membedah akar konflik di PBNU, menjelaskan dinamika pergolakan internal, dan merumuskan rekomendasi rekonsiliasi untuk memperkuat organisasi.
Pergolakan PBNU dalam Perspektif Feillard
NU dan Hubungan dengan Negara, Menurut Feillard, NU memiliki sejarah panjang relasi dinamis dengan negara, mulai dari masa Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi. Relasi ini tidak selalu harmonis, dan sering kali menciptakan friksi internal. Dalam konteks MLB, ketegangan ini dapat muncul ketika PBNU dianggap terlalu dekat dengan kekuasaan negara atau kelompok politik tertentu. Protes terhadap kedekatan ini sering menjadi bahan bakar narasi MLB.
Pihak-pihak yang mendorong MLB kerap mengklaim bahwa mereka bertujuan mengembalikan independensi NU dari pengaruh eksternal. Namun, Feillard mengingatkan bahwa relasi NU dan negara bersifat simbiosis; NU membutuhkan akses terhadap sumber daya negara, sementara negara membutuhkan legitimasi dari NU. Pergolakan ini, karenanya, adalah upaya untuk menegosiasikan ulang hubungan tersebut.
Fragmentasi Internal dan Modernisasi
Feillard menekankan bahwa modernisasi di tubuh NU sering kali menciptakan fragmentasi internal. Modernisasi ini tidak hanya mencakup teknologi atau pola pikir, tetapi juga perubahan dalam struktur kekuasaan dan orientasi politik organisasi. Pergolakan MLB mencerminkan dinamika antara kelompok tradisional yang berorientasi pada keutamaan konservatif dan kelompok yang lebih progresif dan terbuka terhadap perubahan.
Konflik ini sering diperburuk oleh dinamika elite di tingkat pusat yang tidak selalu sejalan dengan aspirasi akar rumput. Feillard menggambarkan NU sebagai "jaringan besar dengan banyak pusat kekuasaan lokal," yang berarti bahwa PBNU tidak selalu bisa mengakomodasi semua kepentingan regional. MLB, dalam hal ini, menjadi simbol resistensi terhadap sentralisasi kekuasaan yang dianggap mengabaikan keberagaman aspirasi di dalam NU.
Arena Simbolik dan Politik Identitas
Dalam perspektif Feillard, konflik internal di NU bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga soal simbolik. NU adalah organisasi yang sarat dengan simbol keulamaan, tradisi, dan moralitas. Dalam pergolakan MLB, klaim moral sering kali digunakan untuk mendapatkan dukungan, baik dari internal organisasi maupun dari masyarakat luas.
Pihak-pihak yang mendukung MLB biasanya menuduh kepemimpinan PBNU saat ini telah menyimpang dari nilai-nilai dasar NU. Sementara itu, pihak yang menentangnya menganggap MLB sebagai ancaman terhadap stabilitas organisasi. Pertempuran ini bukan hanya soal siapa yang memimpin, tetapi juga soal siapa yang dianggap paling sah untuk mewakili NU di mata umat dan bangsa.
Menuju Jalan Rekonsiliasi
Berdasarkan analisis Feillard, ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan untuk mencapai rekonsiliasi di tubuh PBNU: Pertama, dialog inklusif yang transparan. Feillard menekankan pentingnya dialog untuk menyelesaikan konflik internal. Dalam konteks PBNU, dialog inklusif harus melibatkan semua faksi, dari tingkat pusat hingga daerah.
Proses ini tidak hanya membahas persoalan kekuasaan, tetapi juga visi bersama tentang masa depan NU yang lebih baik. Transparansi dalam pengelolaan organisasi, termasuk soal keuangan dan kebijakan, harus menjadi agenda utama untuk memulihkan kepercayaan.
Kedua, penguatan peran keulamaan lokal. Untuk mengatasi fragmentasi internal, NU perlu memperkuat peran keulamaan lokal. Feillard menekankan bahwa NU adalah jaringan yang berbasis pada kiai-kiai di daerah, sehingga penguatan basis ini dapat menjadi langkah untuk meredakan ketegangan pusat-daerah. Keterlibatan aktif para kiai lokal dalam proses rekonsiliasi juga dapat meningkatkan legitimasi hasil musyawarah.
Ketiga, memperjelas posisi NU terhadap negara. Relasi NU dengan negara sering menjadi akar konflik. PBNU perlu memperjelas posisinya, baik dalam hal politik praktis maupun kebijakan publik. Independensi organisasi harus ditegaskan, tetapi tanpa mengabaikan kebutuhan untuk tetap berperan sebagai mitra strategis negara. Dengan demikian, NU dapat menjaga keseimbangan antara otonomi dan pengaruh.
Keempat, memanfaatkan nilai-nilai NU sebagai perekat. Feillard menunjukkan bahwa nilai-nilai NU seperti Tawasuth (moderat), Tasamuh (toleransi), dan musyawarah (dialog) adalah modal utama organisasi. Nilai-nilai ini harus menjadi landasan setiap proses rekonsiliasi. Pemimpin NU perlu menegaskan kembali bahwa perpecahan hanya akan melemahkan organisasi, sementara persatuan adalah kunci untuk menjaga relevansi dan kekuatan NU di masa depan.
Pergolakan di tubuh PBNU, termasuk narasi Muktamar Luar Biasa, tidak hanya mencerminkan persoalan internal, tetapi juga dinamika yang lebih besar dalam hubungan antara NU, negara, dan masyarakat. Andre Feillard, melalui pendekatannya yang berfokus pada hubungan NU dengan negara dan modernitas, memberikan kerangka analisis yang membantu memahami akar konflik ini.
Rekonsiliasi membutuhkan kesediaan semua pihak untuk menempatkan kepentingan organisasi di atas kepentingan individu atau kelompok. Dengan dialog inklusif, penguatan basis lokal, dan penegasan nilai-nilai keulamaan, NU dapat keluar dari krisis ini dengan posisi yang lebih kuat. Sebagai organisasi keagamaan terbesar, NU memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga persatuan dan stabilitas, tidak hanya untuk anggotanya, tetapi juga untuk bangsa secara keseluruhan.
***
*) Oleh : Shohibul Kafi, S.Fil, Pengurus Wilayah DPD KNPI D.I. Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |