TIMES MALANG, MALANG – Dunia pendidikan lagi-lagi dalam sorotan publik karena kasus pemberian hukuman belajar di atas lantai selama proses pembelajaran disebabkan pembayaran SPP telat dibayarkan. Sungguh ironis tindakan guru yang dinilai di luar batas kemanusiaan, sedangkan inti pendidikan adalah memanusiakan manusia secara proporsional dan penuh keadilan.
Peristiwa di SD swasta Medan menjadi sinyal ketidakmampuan oknum guru memperlakukan anak didik sebagaimana mestinya, selayaknya manusia yang perlu diperlakukan adil dan penuh pertimbangan harga diri serta martabat manusia. Guru itu manusia mulia, memiliki kapasitas mendidik dan mengantarkan anak didik menjadi sosok 'sempurna' baik dari segi jasmani dan ruhaninya.
Dengan kata lain guru itu beda dengan manusia kebanyakan. Profesi guru itu sangat vital dalam membangun Sumber Daya Manusia (SDM), tetapi bila cara memberi hukuman di luar batas perikemanusiaan, apa masih layak disebut sebagai profesi mulia dan penting dalam kehidupan masyarakat?
Terlepas dari persoalan kekhilafan sebagai manusia biasa, guru seharusnya dapat mengontrol diri, mengendalikan sikap dan emosinya saat berhadap dengan setiap kondisi, termasuk menghadapi persoalan non akademis seperti keterlambatan pembayaran SPP. Bila dipikir secara matang, masalah pembayaran SPP bukan tanggung jawab anak didik, tugas dia haya belajar sebaik-baiknya, sedangkan SPP menjadi tanggung jawab orang tua.
Hukuman yang dilimpahkan ke anak didik terasa tidak adil, dia tidak tahu-menahu masalah SPP, karena itu merupakan tugas orang tua yang memenuhinya. Selayaknya juga, ilmu dan wawasan guru tentang metode pemberian hukuman sudah dikuasai dan tidak memberi hukuman di luar batas kemanusiaan.
Hukuman yang salah cara dan sasaran akan berdampak secara psikis dan fisiologis bagi perkembangan dan pertumbuhan anak. Suasana paradoks tampak dalam memperlakukan anak kayak "binatang", padahal tujuan pendidikan adalah memanusiakan anak didik dengan segenap kondisi minat-bakatnya.
Belajar bagi anak memerlukan situasi, tempat, metode, media, dan perlakuan yang menyenangkan, sehingga pikiran, emosi, dan jiwa anak siap menerima materi pembelajaran. Joyful learning dan meaningful learning terjalin dengan baik, bukan sebaliknya pembelajaran yang penuh intimidasi, tekanan, ancaman, dan hukuman, seakan posisi anak seperti penjahat dengan kesalahan besar.
Pendidikan telah mengalami disorientasi yang semula ingin memuliakan dan mengembangkan potensi manusia menjadi menghinakan dan mematikan potensi. Lingkungan pendidikan (sekolah, madrasah, surau, langgar, dan lainnya) bisa menjadi rumah kedua bagi sekian banyak anak.
Sebagian anak di rumah pertama, hidupa dengan orang tua dan anggota keluarga tidak mendapat suasana harmonis, bila ditambah lagi dengan suasana disharmonis di rumah kedua, sangat memperburuk tumbuh kembang kejiwaan secara keseluruhan. Lingkungan harmonis menjadi syarat mutlak untuk belajar bagi semua anak didik, bukan lingkungan bengis dengan orang-orang yang berwajah sinis.
Kembalikanlah lembaga pendidikan sebagai wahana yang penuh edukasi sekaligus rekreasi bagi anak didik. Jika di rumah sudah mendapat tugas dan perlakuan orang tua yang begitu keras, berikanlah sentuhan kasih sayang dan keramahan agar ada oase di tengah kegersangan suasana hati anak.
Kesejukan hati dan jiwa hanya akan dapat diraih dengan perlakuan-perlakuan humanis, jauhkanlah sikap-sikap sinis apalagi bengis yang berakibat hati semakin meringis dan menangis.
Kasus-kasus disharmonisasi dan kekerasan lainnya sangat melukai hati anak bangsa dan menghambat perkembangan potensi sebagai modal kemajuan negara.
***
*) Oleh : Mohammad Afifulloh, Dosen Fakultas Agama Islam dan Pascasarjana Unisma Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |