TIMES MALANG, PADANG – Tak ada pembangunan yang kokoh tanpa fondasi ketenagakerjaan yang kuat. Sayangnya, Indonesia masih menapaki jalan yang rapuh. Dominasi sektor informal, ketimpangan keterampilan, dan ledakan angkatan kerja muda kini menyatu dalam sebuah krisis struktural yang jika diabaikan, bisa menjadi bom waktu sosial.
Data Badan Pusat Statistik per Februari 2025 mengungkap ironi: dari 142,18 juta penduduk bekerja, hanya 40 persen yang berada di sektor formal. Sisanya tersebar di sektor informal—mereka yang bekerja tanpa kontrak, tanpa perlindungan sosial, dan sering kali tanpa upah. Struktur ini seperti fondasi rumah di atas pasir, mudah goyah oleh guncangan ekonomi sekecil apapun.
Kondisi makin pelik ketika Generasi Z—yang diperkirakan mendominasi 27 persen angkatan kerja tahun ini—berhadapan dengan realitas dunia kerja yang tak ramah. Sekitar 9,9 juta dari mereka diproyeksikan menganggur. Tak lain karena ketidaksesuaian antara keterampilan yang mereka miliki dan kebutuhan pasar kerja.
Pendidikan tinggi tak selalu berbanding lurus dengan kesiapan kerja. Di banyak tempat, lulusan baru lebih fasih membuat konten TikTok ketimbang menyusun laporan kerja.
Transformasi digital dan otomatisasi industri juga memperkeruh keadaan. Ketika investasi yang masuk lebih menyasar pada sektor padat modal, penciptaan lapangan kerja kian minim.
Nilai Rp1 triliun investasi kini hanya menghasilkan 1.200 pekerjaan. Bandingkan dengan satu dekade lalu yang bisa menciptakan lebih dari 4.500. Mesin lebih murah dan lebih patuh dari manusia.
Pemerintah bukannya diam. Rencana Tenaga Kerja Nasional (RTKN) 2025–2029 menjadi peta jalan strategis. Di atas kertas, isinya menjanjikan: peningkatan pelatihan vokasi, penguatan sektor formal, hingga adaptasi teknologi.
Tapi seperti banyak kebijakan lainnya, tantangan terbesar terletak pada satu kata: implementasi. Tanpa koordinasi lintas kementerian dan komitmen politik yang tegas, dokumen itu hanya akan jadi penghias rak birokrasi.
Padahal solusi sudah ada di depan mata: Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Mereka menyerap 96 persen tenaga kerja nasional, menjadi jaring pengaman sosial ketika sektor formal lesu. Tapi potensi ini tak cukup hanya disanjung dalam pidato kenegaraan.
Diperlukan kebijakan konkret untuk memperkuat daya saing UMKM, dari akses permodalan, digitalisasi, hingga kemitraan strategis. Jika tak segera dibina, mereka akan tenggelam di tengah badai ekonomi global dan tekanan pasar daring raksasa.
Krisis ini tak bisa ditangani dengan pendekatan sektoral atau tambal-sulam program. Diperlukan pendekatan holistik yang menggabungkan reformasi pendidikan, orientasi investasi ramah tenaga kerja, serta keberpihakan politik terhadap sektor yang menyerap banyak tenaga kerja.
Jika tidak, pasar kerja Indonesia akan terus menjadi ladang ketimpangan dan frustrasi massal. Waktu terus berdetak. Dan bom sosial ini tidak mengenal penundaan. (*)
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |