TIMES MALANG, BIMA – Kepala daerah di seluruh Indonesia hasil pemilu tahun 2024, pada tanggal 20 Februari 2025 lalu dilantik secara serentak oleh Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto di halaman tengah Istana Negara Jakarta Pusat.
Berdasarkan data dari Kemendagri jumlah kepala daerah yang dilantik mencapai 961 orang yang terdiri dari 33 Gubernur 33 wakil gubernur 363 Bupati 362 wakil bupati serta 85 walikota dan 85 wakil walikota.
Pelantikan serentak kepala daerah merupakan sejarah baru bangsa Indonesia pasca reformasi maupun pemilu langsung. Kepala daerah merupakan salah satu pilar penting dalam proses pembangunan, kemajuan daerah juga kepala daerah yang menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah pusat.
Dalam proses menjalani kepemimpinan ke depan kepala daerah akan dihadapkan dengan beberapa tantangan terutama masalah efisiensi anggaran, mutasi-rotasi birokrasi, korupsi dan lain sebagainya.
Efisiensi Anggaran
Pemerintah pusat lewat instruksi langsung presiden Republik (Inpres) Indonesia Nomor 1 tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Dan Daerah tahun Anggaran 2025 pemerintah melakukan efisiensi anggaran sebesar 306 lebih triliun rupiah dengan melakukan pemotongan, pemangkasan anggaran di setiap Kementerian Badan/Lembaga maupun angaran daerah.
Pemotongaan, pemngkasan anggaran yang dilakukan untuk membatasi alokasi anggaran yang bersifat (seremonial, seminar-seminar, FGD, ATK dan lain sebagainya.
Dalam proses pemotongan/efisensi anggaran daerah menjadikan kepala daerah yang baru harus betul-betul lihai, cerdas, pintar dalam mengelola keuangan daerah untuk upaya optimalisasi pembangunan di daerah pelayanan, kinerja serta menjalankan program kerja yang telah dicanangkan lewat visi-misinya.
Kepala daerah juga harus pintar menciptakan kreativitas dan inovasi dalam menambah dan meningkatkan pendapatan asli daerah guna menutupi anggaran yang telah dipangkas oleh pemerintah pusat.
Mutasi dan Rotasi Birokrasi
Hampir setiap periodesasi atau pergantian kepemimpinan di tingkat lokal, kepala daerah baru hal yang utama dilakukan yakni melakukan rotasi dan mutasi jabatan struktural dan fungsional di tingkat birokrasi.
Rotasi dan mutasi birokrasi biasanya dilakukan oleh kepala daerah yang baru guna mendukung kerja meningkatkan produktivitas organisasi atau instansi pemerintah daerah perlu dilakukan kocok ulang terhadap birokrasi (rizel, 2020).
Realitas yang terjadi selama ini rotasi dan mutasi birokrasi yang ada di daerah berdasarkan balas jasa politik dan balas dendam politik. Biasanya kepala daerah baru akan mengangkat birokrasi atau pejabat yang berdasarkan kedekatan, kekeluargaan, persaudaraan atau bahkan membantu memenangkan pada saat pilkada berlangsung dan sebaliknya kepala daerah yang baru biasanya akan menendang, membuang birokrasi atau pejabat yang dianggap tidak mendukung dan melawan saat Pilkada.
Penulis berharap proses pengangkatan birokrasi atau pejabat oleh kepala daerah yang baru haruslah berdasarkan asas meritokrasi atau merit sistem dengan melakukan penjaringan dan asesment kepada birokrasi untuk mengisi jabatan struktural maupun fungsional di masing-masing Instansi/dinas dengan melihat rekam jejak, rekam karya, kualifikasi pendidikan, pengalaman kerja, prestasi dan lain sebagainya.
Dalam pengangkatan pejabat struktural maupun fungsional kepala daerah baru, harus bisa menghindari intervensi dari pihak luar terutama dalam hal ini tim sukses, keluarga, pengusaha, partai politik demi menjaga objektivitas dalam proses pengangkatan pejabat yang ada di daerah dg harap bisa menjalankan tugas dengan semaksimal dan sebaik mungkin.
Budaya Korupsi
Tantangan yang dihadapi oleh setiap pemimpin yang ada di daerah yaitu persoalan kasus korupsi berdasarkan data yang dirilis oleh kPK sejak tahun 2004-2022 sebanyak 170 kepala daerah sebagai tersangka kasus korupsi. Korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah sangatlah variatif mulai dari korupsi APBD, proyek, pemotongan dana dana dan lainnya.
Persoalan korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah disebabkan dengan biaya politik yang sangat mahal yang dikeluarkan pada saat pilkada lewat kampanye memberikan bantuan operasional politik dan lain sebagainya ditambah lagi biaya hidup atau hidup mewah mencoba ditunjukkan oleh kepala daerah sehingga menimbulkan perilaku koruptif.
Penulis melihat upaya mitigasi korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah lewat transparansi pengelolaan keuangan daerah, menguatkan kapasitas internal birokrasi untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi sertakepala daerah sederhana tidak menunjukkan perilaku dan kehidupan yang mewah di masyarakat.
***
*) Oleh : Muhammad Fakhrur Rodzi, S.IP., M.IP., Lingkar Pinggir Bima.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |