TIMES MALANG, MALANG – Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (Unisma) menggelar Seminar Nasional bertajuk "Dilema Tumpang Tindih Kewenangan Polisi dan Jaksa: Urgensi Revisi Rancangan KUHAP dan Rancangan UU Kejaksaan dalam Bingkai Sistem Peradilan Pidana" pada Kamis (13/2/2025), di Gedung Pascasarjana lantai 7.
Seminar ini menghadirkan dua narasumber, yakni Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB), Prof. Dr. I Nyoman Nurhaya, S.H., M.S., dan Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Dr. H. Shalih Mangara Sitompul, S.H., M.H.
Dekan FH Unisma, Dr. Arfan Kaimudin, S.H., M.H., menegaskan bahwa seminar ini bertujuan untuk menganalisis potensi tumpang tindih kewenangan antara kepolisian dan kejaksaan dalam RUU KUHAP. Ia menilai bahwa revisi KUHAP harus dilakukan secara hati-hati agar tidak mengganggu sistem peradilan pidana yang sudah ada.
"Posisi kami sebagai akademisi dalam menyikapi RUU KUHAP adalah mencari solusi terbaik terhadap tumpang tindih kewenangan antara kepolisian dan kejaksaan," ujar Dr. Arfan Kaimudin dalam sambutannya.
Salah satu isu utama yang dibahas dalam seminar ini adalah ketentuan dalam RUU KUHAP yang memungkinkan pelapor mengalihkan laporan dari kepolisian ke kejaksaan jika dalam 14 hari laporan tidak ditindaklanjuti oleh kepolisian. Menurut Dr. Arfan, aturan seperti ini justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengganggu integrasi sistem peradilan pidana.
"Saya rasa ini tidak baik dalam suatu sistem, karena kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan merupakan bagian dari sistem yang harus terintegrasi. Jika tidak ditangani dengan baik, sistem bisa terganggu, sehingga perlu dicari solusi terbaik atas RUU ini," paparnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti dampak negatif tumpang tindih kewenangan bagi masyarakat. Jika revisi KUHAP tidak disusun dengan cermat, maka dapat menimbulkan kebingungan dalam mengukur keberhasilan penegakan hukum.
"Jika ada tumpang tindih kewenangan, yang dirugikan adalah masyarakat. Jika fenomena ini terjadi, akan sulit mengukur keberhasilan penegakan hukum. Saat ini, evaluasi sistem peradilan pidana sudah jelas karena kewenangan masing-masing aktor telah diatur dengan baik. Oleh karena itu, kami berpandangan bahwa kewenangan yang ada saat ini sebaiknya tetap dipertahankan," tegasnya.
Seminar ini juga bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap dinamika hukum yang berkembang. Menurut Dr. Arfan, mahasiswa harus memahami realitas hukum yang ada agar lebih kritis dalam menanggapi kebijakan hukum di Indonesia.
"Seminar ini memberikan analisis akademik yang akan menambah wawasan mahasiswa terhadap realitas yang ada. Fenomena seperti ini harus diketahui dan disikapi dengan baik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap produk hukum yang sedang dibahas," ujarnya.
Sebagai penutup, Dr. Arfan berharap bahwa hasil diskusi dalam seminar ini dapat menjadi masukan akademis bagi lembaga terkait sebelum RUU KUHAP disahkan.
"Harapannya, setelah seminar nasional ini, lembaga berwenang dapat menerima masukan akademis sebelum pengesahan RUU KUHAP, sehingga bisa menjadi bahan pertimbangan dalam pembentukan regulasi yang lebih baik," pungkasnya. (*)
Pewarta | : Achmad Fikyansyah |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |