TIMES MALANG, MALANG –
Peringatan Hari Lahir Pancasila setiap tanggal 1 Juni menjadi momen reflektif bagi bangsa Indonesia. Momen untuk meneguhkan kembali dasar negara sebagai pijakan dalam menghadapi dinamika zaman.
Salah satu pendekatan strategis yang kerap terabaikan namun memiliki kekuatan besar adalah diplomasi agama.
Di tengah derasnya arus globalisasi, polarisasi politik, dan tantangan keberagaman, Indonesia dihadapkan pada kebutuhan mendesak untuk menguatkan identitas kebangsaan. Diplomasi agama bukan semata-mata menyangkut hubungan antarnegara. Namun, partisipasi aktor-aktor keagamaan sebagai jembatan.
Terdapat unsur-unsur internal: bagaimana nilai-nilai agama dimanfaatkan untuk memperkuat jati diri bangsa. Menciptakan harmoni sosial dan mendorong kohesi nasional. Oleh sebab itu, diplomasi agama menjadi arena penting untuk mengokohkan semangat persatuan dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika.
Diplomasi Agama: Jalan Tengah antara Agama dan Negara
Sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, bukan hanya menandai pengakuan eksistensial terhadap Tuhan. Juga, menegaskan pentingnya nilai spiritual dalam kehidupan berbangsa. Pancasila bukanlah ideologi sekuler yang meminggirkan agama, melainkan menjadikannya fondasi moral dalam kehidupan bersama.
Oleh karena itu, diplomasi agama selaras dengan Pancasila karena menjadikan nilai-nilai agama sebagai sarana dialog. Bukan alat konfrontasi, melainkan sebagai kekuatan penyatu. Bukan alat pemecah belah, melainkan perekat antarsesama.
Dalam konteks ini, agama berfungsi sebagai penjaga nilai. Di dalamnya mengajarkan kasih sayang, keadilan, dan perdamaian. Diplomasi agama, jalan tengah antara agama dan negara, yang mampu menciptakan harmoni dan mendorong partisipasi warga dalam kehidupan berbangsa.
Ketika nilai-nilai tersebut dikedepankan dalam ruang publik dan relasi sosial, akan dapat membentuk jaringan etis yang memperkuat kohesi sosial. Mempertegas bahwa identitas kebangsaan bukanlah penyeragaman budaya. Namun, pengakuan terhadap keberagaman yang dijahit oleh kesadaran kolektif akan tujuan bersama: Indonesia yang damai dan bermartabat.
Diplomasi Agama: Jalan Tengah antara Iman dan Kewarnegaraan
Di era disrupsi digital, masyarakat Indonesia tidak hanya mengalami krisis informasi, tetapi juga krisis identitas. Munculnya kelompok-kelompok yang mengusung paham eksklusif, radikal, bahkan transnasional menjadi tantangan serius. Di sinilah diplomasi agama memiliki peran vital: bukan hanya sebagai jalan tengah antara agama dan negara, tetapi antara iman dan kewarganegaraan.
Diplomasi agama dapat dilakukan oleh negara atau ormas keagamaan. Selain itu, juga dapat dilakukan oleh tokoh agama maupun masyarakat sipil. Misalnya, Kementerian Luar Negeri Indonesia secara aktif menjalin kerja sama antarnegara dalam dialog lintas iman.
Organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah telah memainkan peran global dalam menyuarakan Islam damai dan toleran. Program moderasi beragama yang dicanangkan pemerintah adalah bentuk diplomasi agama domestik yang patut diapresiasi. Tindakan tersebut menjadi jangan tengah antara iman dan kewarnegaraan.
Namun demikian, diplomasi agama tidak cukup hanya pada tataran simbolik dan seremoni. Ia harus menyentuh akar-akar realitas sosial. Ia harus mampu menjembatani ketimpangan ekonomi, diskriminasi, dan marginalisasi.
Dengan demikian, agama yang hidup di tengah masyarakat tidak boleh abai terhadap keadilan sosial sebagaimna sila kelima Pancasila. Agama harus hadir untuk membela yang tertindas. Menyuarakan keadilan dan meneguhkan empati, guna memperkuat identitas kebangsaan yang berkeadaban.
Diplomasi Agama: Jalan Tengah antara Tradisi dan Modernisasi
Diplomasi agama menjadi medium ideal untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan modern. Ketika tokoh-tokoh agama berdialog lintas iman, sebenarnyaa sedang menghidupkan sila ketiga: “Persatuan Indonesia”. Ketika umat beragama saling menghargai lintas komunitas, sebenarnya sedang mengamalkan sila kedua: “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.
Ketika pemimpin agama menegaskan pentingnya memilih pemimpin berdasarkan integritas, sebenarnya sedang menegakkan sila keempat: “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”.
Dengan demikian, diplomasi agama bukan sekadar konsep elitis. Diplomaasi agama adalah nilai praksis keseharian yang dapat dilakukan oleh siapa saja.
Guru di sekolah yang mengajarkan toleransi, pemuka agama yang mendoakan pemimpin lintas iman, bahkan warga biasa yang menolong tetangganya yang berbeda keyakinan, semuanya adalah pelaku diplomasi agama. Mereka sejatinya sedang menjahit identitas kebangsaan dengan benang-benang nilai spiritual yang bersifat inklusif. Mencegah polarisasi: kelompok yang terlalu konservatif (anti-modern) dan yang terlalu liberal (anti-tradisi).
Tantangan dan Harapan ke Depan
Meskipun sangat potensial, diplomasi agama tidak lepas dari tantangan. Politik identitas yang memanipulasi agama demi kekuasaan menjadi racun bagi diplomasi yang seharusnya membawa kedamaian. Selain itu, adanya kecenderungan segregasi sosial berdasarkan agama, baik dalam lingkungan pendidikan, tempat tinggal, maupun dunia kerja.
Hal tersebut, dapat mengganggu integrasi nasional dan memperlemah identitas kebangsaan. Oleh karena itu, diperlukan keberanian dari negara dan masyarakat sipil untuk terus mengarusutamakan dialog lintas iman dan membangun ekosistem sosial yang mengedepankan keterbukaan. Media sosial dan platform digital hendaknya menjadi arena baru bagi diplomasi agama, bukan sebagai ladang ujaran kebencian.
Di samping itu, pendidikan agama di sekolah/Perguruan Tinggi harus diperkuat dengan pendekatan multikultural dan pembelajaran lintas tradisi. Pendidikan agama bukan menanamkan kecurigaan terhadap perbedaan. Pendidikan agama hendaknya menumbuhkembangkan persatuan dan kedamaian.
Dalam konteks Indonesia, Pancasila telah memberi arah untuk hidup bersama dalam damai dan kemajemukan. Di tengah dunia yang terus berubah, diplomasi agama hadir sebagai jembatan antara spiritualitas dan kebangsaan, antara keimanan dan kemanusiaan.
Oleh sebab itu, di Hari Lahir Pancasila ini, marilah kita kobarkan semangat diplomasi agama untuk memperkuat identitas kebangsaan. Sebuah identitas yang tidak dibangun dari homogenitas, melainkan dari keberagaman yang dihargai, dirawat, dan dijadikan kekuatan bersama. (*)
***
*) Oleh: Mohamqd Sinal
*)Penulis adalah Corporate Legal Consultant, ahli bahasa hukum, founder Pena Hukum Nusantara (PHN), dan dosen Polinema.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : xxx |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |