https://malang.times.co.id/
Kopi TIMES

Malang di Persimpangan Kota Hiburan

Sabtu, 20 September 2025 - 14:38
Malang di Persimpangan Kota Hiburan Mas’udi Hammzah, Wasekum Bidang Hukum dan Keamanan AMPERA.

TIMES MALANG, MALANG – Malang selama ini dikenal sebagai Kota Pendidikan, sebuah kota yang menjadi rumah ribuan mahasiswa dari berbagai pelosok negeri hingga mancanegara. Identitas ini bukan sekadar label, melainkan cermin sejarah panjang dan kontribusi nyata Malang dalam melahirkan generasi terpelajar. 

Namun, akhir-akhir ini wajah kota ini tampak mulai buram. Terdistorsi oleh hadirnya reklame-reklame yang lebih menonjolkan gemerlap hiburan ketimbang atmosfer intelektual.

Fenomena billboard yang mempromosikan Xoan Sosial Hub di sejumlah titik strategis Kota Malang menjadi tanda tanya besar. Mengapa di kota yang semestinya menjaga ruh pendidikan, justru ruang publiknya dihiasi iklan hiburan yang kental nuansa hedonisme? 

Di jalan-jalan utama yang seharusnya menjadi etalase Kota Pendidikan, kini justru terpampang promosi yang menggiring persepsi kota ini ke arah berbeda.

Pertanyaan yang tak kalah penting adalah: apakah reklame semacam itu benar-benar melalui prosedur yang sah? Atau justru ada bekingan yang membuat promosi hiburan tetap bebas melenggang di ruang publik Malang? 

Jika demikian, maka yang dipertaruhkan bukan hanya estetika kota, tetapi juga marwah Malang sebagai ruang belajar yang seharusnya aman, ramah, dan mendidik.

Dalam konteks ini, publik tak bisa serta-merta menyalahkan Dinas Perizinan. Izin reklame memang diberikan kepada pihak ketiga, yaitu pemilik billboard. Tetapi justru di sinilah letak persoalannya: pemilik billboard bukan sekadar penyedia ruang kosong untuk iklan, melainkan aktor yang memikul tanggung jawab sosial dan moral. 

Ketika mereka mengizinkan promosi hiburan yang sarat nuansa hedonisme, mereka pada dasarnya sedang menutup mata terhadap dampak sosial yang akan lahir dari konten yang mereka pajang.

Maka, kritik publik seharusnya diarahkan secara proporsional. Tanggung jawab moral terbesar ada pada pemilik izin billboard. Dinas Perizinan sebagai regulator tak cukup hanya memberi peringatan. 

Peringatan yang berulang tanpa konsekuensi tegas hanya akan menjadi angin lalu. Jalan satu-satunya agar kasus serupa tidak terus berulang adalah berani mencabut izin pemilik billboard yang terbukti abai terhadap tanggung jawab sosialnya.

Kita perlu menimbang dampak lebih jauh. Promosi hiburan yang menyasar ruang publik tidak hanya dilihat oleh orang dewasa. Pelajar, mahasiswa, bahkan anak-anak setiap hari melintasi jalanan kota, dan secara tidak sadar mereka sedang terpapar budaya yang ditanamkan lewat reklame itu. 

Kota yang seharusnya menghadirkan ruang publik mendukung pendidikan, justru memberi ruang besar bagi gaya hidup konsumtif dan hedonistik. Ini bukan sekadar persoalan papan iklan, melainkan perang simbolik tentang arah identitas sebuah kota.

Jika situasi ini dibiarkan, benturan identitas tidak terhindarkan. Malang akan perlahan meninggalkan citranya sebagai Kota Pendidikan dan bergeser menjadi Kota Hiburan. 

Transformasi identitas ini bisa jadi berlangsung diam-diam, tanpa kita sadari, hingga pada suatu titik masyarakat hanya mengenang Malang sebagai kota yang pernah menjadi pusat pendidikan, sebelum akhirnya tergerus oleh arus komersialisasi hiburan.

Kita tentu tak menolak keberagaman aktivitas ekonomi, termasuk hiburan. Namun yang harus digarisbawahi adalah konteks dan proporsinya. Malang tidak bisa kehilangan jati dirinya. 

Pemerintah kota, pemilik billboard, dan masyarakat harus menyadari bahwa menjaga identitas kota bukan sekadar menjaga fisik bangunan atau fasilitas, melainkan juga menjaga narasi ruang publik agar tetap konsisten dengan julukan Kota Pendidikan.

Gerakan kritis warga Malang menjadi penting. Pengawasan publik adalah penyeimbang agar kota ini tidak terseret arus kapitalisme hiburan yang membabi buta. 

Mengabaikan masalah reklame hiburan berarti membiarkan masa depan generasi muda dikerdilkan oleh budaya konsumtif. Padahal, Malang seharusnya menjadi ladang subur bagi tumbuhnya intelektual, bukan lahan basah bagi promosi gaya hidup yang hanya menguntungkan segelintir pihak.

Akhirnya, kasus reklame Xoan Sosial Hub harus dijadikan momentum untuk mengevaluasi kembali arah kebijakan perizinan reklame di Kota Malang.

Kota ini mau dikenal sebagai apa? Apakah sebagai kota yang melahirkan generasi cerdas dan berkarakter, atau sekadar sebagai etalase hiburan yang memanjakan mata namun miskin makna?

Jika Malang benar ingin tetap dikenal sebagai Kota Pendidikan, maka pemerintah, pemilik billboard, dan masyarakat harus satu suara: menolak segala bentuk komersialisasi ruang publik yang bertentangan dengan nilai pendidikan. 

Pada akhirnya, yang kita jaga bukan hanya papan iklan di jalanan, melainkan jiwa dan masa depan generasi muda yang belajar di kota ini. (*)

***

*) Oleh : Mas’udi Hammzah, Wasekum Bidang Hukum dan Keamanan AMPERA.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.